Awalnya, ustad di pesantren ayahnyi itu yang mengisi. Sekalian mengobati rindu di kampung halaman. Lama-lama anggotanya meluas hampir ke seluruh negara Eropa.
Yang ikut pengajian hari itu ada juga yang dari Belanda dan Makedonia. Juga dari Inggris.
Ibu yang dari Makedonia itu pintar membuat pantun dan puisi. Dia membacakan pantun dadakan tentang saya: membuat saya tersipu-sipu. Namanyi: Liem Siagian.
”Anda lahir di mana, di Sumut?” tanya saya.
”Saya lahir di Jember, Jatim,” jawabnyi.
”Di Jember tidak ada marga Siagian....”
”Ayah saya dari Balige.”
”Kenapa pakai nama depan Liem?”
”Ibu saya marga Liem.”
”Lulus SMA di Jember?”
”Di Probolinggo.”
”Hahaha... Anda ini kacau sekali....” celetuk saya.
”Masih ada yang lebih kacau....” tukasnyi.
Liem pun bercerita tentang ”kekacauannyi” itu. Sebelum tinggal di Eropa, ternyata Liem berstatus TKW di Hongkong. Dia sering melihat misionaris Gereja Mormon di Hongkong. Mereka rajin mendatangi TKW. Itu justru memperkuat keimanannyi sebagai muslimah. Liem justru mendirikan aktivitas pengajian untuk TKW Hongkong. Sering mengundang penceramah dari As-Syafi’iyah, Jakarta.
"Saya dulu sebenarnya cukup mapan. Saya bekerja di perusahaan eksportir ubur-ubur,” kata Liem. Dia pun keliling Indonesia. Ke daerah-daerah penghasil ubur-ubur. Dia juga sering ke Medan –karena pusat perusahaan itu di Medan.
”Perusahaan saya itu bangkrut,” katanyi. ”Lalu, saya putuskan menjadi TKW,” ujarnyi.