Pengajian Potehi

Minggu 16-01-2022,07:30 WIB

Oleh: Dahlan Iskan

TEMANYA ringan. Saya pun oke. Kalau pengajian itu membahas fikih, hadis, tafsir, atau tauhid, saya pasti menolak: belum kelas saya jadi ustaz.

Permintaan itu datang dari ibu-ibu di Eropa: Majelis Pengajian Prancis (MPP). Secara online. Tema yang dimintakan ke saya: ”Bagaimana bergaul secara luas tanpa mengganggu keimanan”.

Hanya ada satu masalah teknis: jam yang ditentukan itu beriringan dengan acara saya di Kelenteng Gudo, luar Kota Jombang. Ada diskusi tahun baru Imlek di kelenteng itu.

Saya pun cari akal: agar dua-duanya bisa jalan. Saya hubungi pengurus kelenteng: adakah wifi di Kelenteng Gudo. Lalu: apakah saya bisa memberikan pengajian Islam di salah satu ruang di kelenteng itu.

”Dengan senang hati,” ujar Ketua Kelenteng Gudo Toni Harsono.

Toni itu menyenangkan. Kalau Anda bertemu Toni, tidak akan menyangka ia itu Tionghoa. Kulitnya seperti saya. Matanya seperti saya. Bedanya: saya tua, ia masih muda.

Toni sudah tergolong langka. Ia jadi ketua kelenteng karena ayahnya dulu pegawai di kelenteng itu. Yang unik: Toni adalah juga dalang wayang potehi. ”Sebenarnya ayah melarang saya jadi dalang,” katanya.

Mengapa?
”Nasib dalang potehi itu seperti wayang potehi,” kata Toni. Nama Tionghoa-nya: Tok Hok Lay.

Tokoh wayang potehi itu, katanya, terlihat gagah kalau lagi dimainkan di atas panggung. Apalagi kalau tokoh itu raja. Atau panglima perang. Tapi, begitu turun panggung, langsung menjadi seperti pakaian lusuh.

Wayang potehi memang terbuat dari kain. Hanya kepala dan leher yang dari benda keras. Juga, sepatu dan sedikit kaki bagian bawah. Selebihnya hanya kain: yang motifnya sesuai dengan perannya.

Bahwa di panggung wayang kain itu bisa terlihat gagah karena ada tangan dalang di dalamnya. Jari telunjuk dimasukkan ke bagian leher. Tiga jari selebihnya di bagian tangan kanan. Jempol dimasukkan bagian tangan kiri wayang.

Toni setuju dengan pendapat bapaknya itu. Sang bapak sudah membuktikan: ia sendiri juga dalang potehi. Bahkan, bapaknya bapak juga dalang potehi.

Tapi, Toni tetap jadi dalang potehi –generasi ketiga. Di seluruh Jatim tinggal ada empat saja dalang potehi.

Bahkan, Toni bukan sekadar dalang. Ia bikin museum potehi –satu-satunya di Indonesia. Museum itu ia bangun di sebelah Kelenteng Gudo. Ia beli tanah di situ. Ia amankan museum itu dengan dua lapis pintu besi.

Tags :
Kategori :

Terkait