Politisi Partai Gerindra, Esti Arimi Putri menyoroti kisah tragis Novia Widyasari Rahayu yang bunuh diri akibat kelakuan Bripda Randy Bagus Hari Sasongko. Menurutnya, Novia hanya satu dari sekian kasus kejahatan seksual yang menimpa perempuan dan anak-anak.
Novia nekat mengakhiri hidupnya, ungkap Esti, karena depresi sejak berhubungan dengan polisi yang masih aktif berdinas di Polres Pasuruan itu. Apalagi, Novia sampai dua kali hamil dan dipaksa polisi bejat itu untuk melakukan aborsi.
Sudah begitu, Bripda Randy Bagus menolak untuk bertanggung jawab dan menikahinya. Anak buah Prabowo Subianto ini juga menyoroti dua anak perempuan di Padang, Sumatera Barat, yang menjadi korban pemerkosaan dan pelecehan seksual.
Ironisnya, pelakunya adalah kakek, paman, kakak kandung, dan dua orang tetangga korban. Lalu, ada juga perempuan warga Tambusai, Kabupaten Rokan Hulu, Riau yang disekap dan diperkosa oleh komplotan bandit.
Korban bahkan harus kehilangan bayi perempuannya berusia tiga bulan yang tewas karena dibanting pelaku. Menurut anggota DPRD DKI Jakarta ini, sederet tindak kekerasan seksual yang dialami perempuan dan anak tersebut harus menjadi refleksi bagi penegak hukum.
“Munculnya kasus Novia Widyasari Rahayu membuka mata seluruh masyarakat Indonesia bahwa selama ini kaum wanita kerap menjadi korban, namun tidak berdaya untuk melawan,” kata Esti melalui keterangannya, Selasa (7/12).
Perempuan berparas cantik ini meyakini, kasus yang dia sebut itu hanya sedikit dari banyaknya kasus yang terungkap ke publik. Karena itu, penegak hukum harus memberikan ancaman hukuman yang berat kepada para pelaku agar bisa menimbulkan efek jera.
“Harusnya mereka dihukum seumur hidup dan juga dikebiri, agar menjadikan efek jera dan peringatan kepada predator seksual lainnya,” tegasnya.
Dengan demikian, kejadian serupa seperti yang dialami Novia Widyasari dan korban lainnya tidak terus menerus berulang di kemudian hari. Sebaliknya, hukuman ringan bagi pelaku kejahatan seksual jelas sangat tidak masuk akal dan mencederai rasa keadilan serta kemanusiaan.
Apalagi, ketika korbannya, sampai meninggal dunia. Menurutnya, kasus serupa yang terus berulang itu lantaran hukuman yang diterima para pelaku tidak sebanding.
“Karena para pelaku tidak merasa takut dengan ancaman hukuman yang ringan itu,” tandas dia. (ruh/int/pojoksatu)