Proyek itu bukan baru. Sudah lama sekali. Macet terkena krisis moneter 1998.
Empat presiden setelah Pak Harto tidak berhasil menghidupkannya. Rumit sekali.
Ketika Pertamina dipimpin Karen
Agustiawan berhasil maju satu langkah: Pertamina berhasil menjadi mayoritas mutlak di situ. Dengan demikian, mestinya, Pertamina bisa lebih mudah untuk menggandeng investor baru. Tidak perlu lagi terbebani masalah lama.
Presiden pun bercerita. Dengan nada gemes. Begitu dilantik di tahun 2014 beliau langsung ke lokasi itu. Tapi ketika ke Tuban lagi presiden masih menerima laporan yang sama. Tidak ada kemajuan.
"Sampai Bu dirut saya bentak. Laporan seperti itu sudah pernah saya dengar," ujar presiden.
Rupanya presiden jengkel. Tendernya gagal terus. Sudah diulang dua kali.
Belum juga berhasil.
Presiden juga menyebut nama investor Rusia: Rosneft. Yang sudah siap investasi sampai Rp 160 triliun di Tuban. Tapi, kata presiden, sampai sekarang baru masuk Rp 5 miliar.
Begitulah.
Rasanya Anda sudah tahu: Pak Harto merencanakan proyek raksasa Petrokimia itu di Tuban. Hasyim Djojohadikusomo sebagai investor: adiknya Prabowo subianto itu. Nama proyeknya: Olefin Complex Development Project (OCDP).
Ada dua proyek besar di situ. Yang pertama: proyek Revamping Aromatic. Yang akan meningkatkan produksi Petrokimia berupa Paraxylene. Dari 600 ribu ton menjadi 780 ribu ton per tahun.
Awalnya proyek perluasan ini ditargetkan selesai 2022. Dengan gambaran yang disampaikan presiden itu, target tersebut mustahil tercapai.
Dimulai pun belum. Bahkan siapa investornya masih belum final.
Aromatic tahap pertama itu macet di zaman krismon 1998. Masuk BPPN. Di lakukanlah restrukturisasi.
Tahun 2003 proyek itu selesai. Bisa mulai berproduksi. Yakni di zaman Pertamina dipimpin oleh dirut —mungkin Anda pun sudah lupa namanya: Ariffi Nawawi.