Ternyata tidak mudah melaksanakan semua itu. Emosi nasionalisme saja tidak cukup. Untuk membangun pabrik chip —skala besar— diperlukan investasi sampai sekitar Rp 150 triliun. Juga, diperlukan tenaga kerja khusus yang terlatih di bidang itu. Rekrutmen tenaga kerjanya tidak bisa mendadak.
Juga, harus diciptakan instalasi penjernihan air yang sangat khusus. Dalam kapasitas yang sangat besar. Itu sudah bukan menjernihkan air lagi. Tingkatnya sudah pemurnian air.
Semua itu hanya ada di Tiongkok. Kalau mau cepat. Pun kalau ingin dalam jumlah yang besar —yang bisa mengatasi krisis chip dunia sekarang ini.
Intel sudah mengajukan usul: untuk dibolehkan memproduksi chip di pabrik raksasanya. Tapi, pabrik itu ada di Sichuan, Tiongkok bagian barat.
Berarti, sebenarnya, krisis ini bisa diatasi. Kalau Biden bersepakat dengan Jinping: perdagangan chip dinormalkan.
Dalam hal chip ini, kelihatannya Amerika dalam posisi kepepet lagi. Kalau tidak diatasi segera, dampak krisis chip itu lebih parah daripada Covid. Memang tidak akan ada yang masuk rumah sakit atau meninggal dunia. Tapi, dunia modern sudah terlalu bergantung pada benda sebesar 6 nanometer itu.
Selama ini Taiwan-lah yang memasok 50 persen keperluan chip dunia. Anda sudah tahu mereknya apa: TSMC. Yang dimiliki ilmuwan Amerika kelahiran Taiwan.
Tahun lalu Taiwan dilanda musim kering yang tidak biasa. Yang terburuk dalam 100 tahun. Pasokan air untuk pabrik chip itu sampai terganggu.
Padahal, pabrik chip TSMC memerlukan air murni, tiap hari, sampai 63.000 ton.
Masih ditambah: harga salah satu bahan bakunya, tembaga, naik.
Pabrik chip di Jepang, ndilalah, kebakaran. Sedangkan pabrik chip di Malaysia sempat tutup lama akibat Covid.
Pun kalau pabrik di Taiwan, Jepang, dan Malaysia itu sudah normal kembali. Belum akan bisa mengatasi krisis sekarang ini. Produksinya tetap. Keperluannya naik terus.
Inilah krisis kelas atas. Terlalu atas. Yang di bawah, untuk menontonnya pun sulit. (*)