Komandan Tim (Dantim) Bravo 9 Belukar, Iptu Anton Tonapa menceritakan kisahnya saat ditembak Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua, 26 April lalu. Tidak hanya itu, dia pun harus kehilangan anak buahnya, Bharada I Komang Wira Natha.
Tim Bravo 9 Belukar yang mulanya merupakan tim evakuasi, tapi akhirnya menjadi tim penindak hanya beberapa saat berselang sebelum melaksanakan tugas. Dilansir dari Antara, hal itu bertujuan untuk menggantikan dua tim, yakni Tim Nanggala dan satu Tim Belukar yang telanjur diketahui KKB.
Sebelumnya, ketiga tim tersebut merupakan tim penindak. Anton menngungkapkan saat itu dia dan timnya tengah melakukan observasi di Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua.
Tiba-tiba, terdengar tiga kali tembakan yang membidik Bharada I Komang Wira Natha (saat ini berpangkat Bharatu Anumerta). Tembakan tersebut mengenai lengan, punggung, dan kaki Komang.
Sebagai komandan, Anton merasa sangat terguncang melihat anak buahnya tertembak, apalagi dia cukup dekat dengan Komang. Ketika Komang masih meneriakkan rasa sakitnya, Anton merasa Komang masih bisa diselamatkan.
Dia meminta agar timnya melakukan evakuasi dengan sigap dan penuh kehati-hatian di tengah hujan peluru yang berasal dari bukit. Komang berhasil diamankan oleh rekan-rekan satu timnya, tetapi penyerangan masih terus berlanjut.
Akibat serangan itu pula, Anton tertembak punggungnya. Tubuhnya terasa kram dan sempat mati rasa.
Refleks, Anton merebahkan tubuhnya dan mengamankan diri di tempat Komang sempat berlindung. Baku tembak yang terjadi mengakibatkan helikopter evakuasi tidak dapat melakukan pendaratan.
Mobil dan kendaraan lainnya juga tidak dapat digunakan untuk mengevakuasi mereka, karena medan yang terlalu ekstrem. Anton terpaksa diarahkan untuk melakukan evakuasi dengan berjalan kaki.
Padahal, selain Komang dan Anton, terdapat Muhammad Syaifiddin yang juga terkena tembakan di bagian perutnya. Kondisi tersebut mengakibatkan tim yang dipimpin Anton terpukul.
Terlebih ketika Komang menghembuskan napas terakhirnya sebelum mendapat perawatan di rumah sakit. Suasana berkabung menyelimuti seluruh anggota tim yang terlibat, tetapi tidak menghentikan semangat perjuangan mereka.
“Saya, dalam keadaan luka dan berdarah, berjalan kaki sejauh satu kilometer,” tutur Anton.
Ketika telah mencapai medan dengan situasi yang lebih kondusif, helikopter dari Polri akhirnya datang dan berhasil melakukan pendaratan. Evakuasi lantas dilakukan untuk Anton dan Syaifiddin dengan membawa keduanya untuk dirawat di Rumah Sakit Timika.
Meski tidak ada organ vital yang mengalami kerusakan, Anton mengatakan, dia masih trauma mendalam akibat kejadian penembakan yang dialaminya. Anton mengaku dihantui suara yang menyerupai tembakan, dia merasa tidak nyaman dan takut ketika menaiki mobil.
Bahkan masih terlintas bayang-bayang peristiwa penembakan saat Anton sedang sendiri. Setiap terdengar suara yang menyerupai tembakan, acap kali terdapat refleks untuk melindungi diri.