Beliau memberi pidato di situ. Lalu salat Subuh bersama. Lantas jalan ke kota berikutnya. Sambung rasa lagi. Pidato lagi. Jalan lagi. Terus seperti itu. Dari satu acara ke acara berikutnya. Jalan terus. Pidato terus. Pun sampai habis tarawih. Masih diteruskan rapat dengan pengurus Golkar setempat. Sampai jam 12.00 malam.
Beliau hanya tidur 2 jam. Kami bisa tidur lebih banyak –termasuk saat beliau berpidato. Mata beliau terlihat selalu merah. Selama hampir satu bulan Ramadan penuh.
Sukses. Golkar menang terbesar di Pemilu setelah itu.
Nama Harmoko pun mulai disebut-sebut sebagai salah satu calon wakil presiden. Waktu itu cita-cita tertinggi politikus adalah menjadi wakil presiden –karena presiden berikutnya pasti Pak Harto lagi.
Pak Harmoko habis-habisan mengambil hati Pak Harto. Mulai dari prestasi sampai pidato-pidatonya. Di tahun kejatuhan Pak Harto itu pun pak Harmoko-lah yang pertama melontarkan bahwa rakyat masih tetap menghendaki Pak Harto untuk terus menjabat presiden. "Saya sudah keliling seluruh pelosok Indonesia. Semua rakyat menghendaki Pak Harto lagi," begitu kurang lebih kata-kata Pak Harmoko ketika itu.
Ternyata Pak Harto lebih memilih Pak B.J. Habibie sebagai wakil presiden. Pak Harmoko ''dibuang'' ke jabatan ketua DPR/MPR.
Lalu terjadilah reformasi itu.
Pasca reformasi, Pak Harmoko sangat pandai membawa diri: diam. Tidak pernah bersuara. Tidak pernah tampil. Sekali saja beliau ingin ikut partai baru. Saya lupa namanya. Tapi tidak berlanjut. Diam lagi.
Saya masih beberapa kali bertemu beliau. Terakhir sekitar 3 tahun lalu. Beliau sudah sakit-sakitan. Jalannya sangat-sangat-sangat pelan. Tapi ingatan beliau tetap sangat baik. Dan encepan bibirnya masih khas Pak Harmoko. (Ada satu tokoh lagi yang kalau mencep sangat khas: Bu Mega).
Saya masih terus mengamati: bagaimana Pak Harmoko akan ditempatkan dalam sejarah Indonesia modern. Ia dibenci kelompok anti-Soeharto pada zamannya. Ia dibenci keluarga Soeharto pada akhirnya. (*)