Apakah selama seminggu itu mereka sudah memiliki imunitas yang cukup?
Itulah. Mereka harus diperiksa. Karena itu kemarin mereka ke Jakarta lagi. Diambil darah lagi. Dari pemeriksaan itu akan diketahui siapa yang sudah punya imunitas. Lalu seberapa banyak imunitas tersebut.
Mungkin –asumsi saya– mereka belum akan diberitahu hasilnya. Sewaktu disuntikkan kembali ke tubuh mereka minggu lalu tentu dosisnya tidak sama. Itu untuk mengetahui pada dosis berapa Vaksin Nusantara itu dianggap paling ampuh.
Yang jelas, selama seminggu setelah penyuntikan itu tidak ada keluhan apa-apa. Pun yang paling ringan. Itu sama dengan yang dialami mantan Menkes Prof Dr Siti Fadilah Supari, konglomerat Aburizal Bakrie, mantan Seskab Sudi Silalahi, dan penyanyi Anang Hermansyah beserta istri dan anak laki-lakinya.
Minggu depan mereka ke Jakarta lagi. Pemeriksaan lagi. Mereka dibekali surat keterangan. Siapa tahu dicegat operasi larangan mudik.
Kemarin petang saya hubungi mereka. Ternyata sudah kembali menuju Surabaya. Sudah sampai dekat Cirebon.
"Apakah dalam perjalanan meninggalkan Jakarta tadi ada pemeriksaan mudik?" tanya saya pada Nicky Yusnanda. Ia Bonita –bonek wanita– Persebaya. Yang juga sekretaris di perusahaan putri saya, Isna Iskan.
"????? ??????, ????," jawab Nicky.
Saya tidak mengerti maksudnyi. Suara di bus itu bising sekali. Jawaban Nicky tidak jelas di telinga saya. Seisi bus rupanya lagi tertawa-tawa, menyanyi, dan teriak-teriak.
Terpaksa saya bertanya hal yang sama lewat WA.
"Tidak ada pemeriksaan sama sekali," tulis Nicky.
Nicky memang masih bujang. Tapi sebenarnya dia bisa ikut vaksinasi lewat Persebaya atau DBL Indonesia. Tapi dia sengaja hanya mau Vaksin Nusantara. "Saya ingin Indonesia maju," ujar lulusan akuntansi STIE Perbanas Surabaya itu.
Ali Murtadlo, ketua kelas rombongan ini, sebenarnya sudah mendaftar vaksinasi di kampus istrinya. Saat giliran mau divaksin Ali ditanya petugas: apakah Anda dosen?
Ali terlalu jujur –sepengetahuan saya dia memang orang Pacitan yang jujur. Ia mengaku istrinyalah yang dosen. Istri Ali memang seorang profesor dan doktor di Universitas itu.
Ali pun ditolak. Padahal kalau pun ia bilang "ya, saya dosen" tidak akan ada yang mengusut lebih lanjut.
Ali adalah wartawan pertama Jawa Pos yang fasih berbahasa Inggris –setelah Djoko Susilo. Kami-kami semua, waktu itu, takut kalau ada tamu orang bule.