Pelaku jasa keuangan platform fintech peer to peer lending atau pinjaman online (pinjol) dipastikan akan dikenai pajak. Saat ini, pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menggodok aturan memungut pajak itu.
Kasubdit Peraturan PPN, Perdagangan, Jasa dan PTLL Bonarsius Sipayung mengatakan, mengenakan pajak pinjol untuk memberikan kesamaan antara jasa keuangan digital dan konvensional.
"Perkembangan bisnis begitu besar termasuk jasa keuangan. Ada fintech, sehingga membutuhkan penegasan peraturan sehingga jelas konteks pemajakannya," ujarnya dalam video daring, kemarin (24/2).
Menurut dia, tidak perlu dikeluarkan undang-undang baru terhadap pelaku jasa keuangan dalam fintech. Namun, diperluakan peraturan turunan seperti tata cara pemungutan dan lain sebagainya.
"Lagi kita susun sebuah aturan yang mengatur aspek perpajakan baik sisi PPh maupun PPN di mana salah satu pengaturannya kalau ada penyerahan barang jasa dari para pihak pelaku usaha, baik lender maupun borrower. Kalau ada penghasilan, terutang PPh kalau ada penyerahan jasa terutang PPN," jelasnya.
Sebenarnya, kata dia, pemungutan pajak jasa keuangan digital sudah lama dibahas dan bukan sebuah masalah bagi para pelaku fintech.
"Yang paling penting adalah administrasi. Karena dalam pengertian kita terkait penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP), undang-undang kita wajib menerbitkan faktur pajak," ucapnya.
Terpisah, pengusaha pinjol, CEO dan Founder Dompet Kilat Sunu Widyatmoko mengatakan, sampai saat ini pihaknya masih membahas masalah pajak pinjol dengan pemerintah. Dia berharap dalam implementasinya pajak pinjol dapat berjalan dengan baik.
"Kami masih akan meeting dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk membahas ini," ujarnya. (din/zul)