Habib Rizieq Shihab ditetapkan sebagai tersangka kasus test swab di RS Ummi, Bogor, Jawa Barat. Ini merupakan status tersangka ketiga HRS setelah kembali ke Tanah Air pada 10 November lalu.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian Djajadi mengatakan penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri menetapkan Habib Rizieq Shihab (HRS) sebagai tersangka dalam kasus dugaan menghalangi kerja Satuan Tugas Penanganan COVID-19 oleh RS Ummi, Bogor, Jawa Barat atas pelayanan kesehatan risiko COVID-19.
Tidak hanya HRS, penyidik juga menetapkan dua tersangka lainnya, yaitu Direktur Utama RS Ummi dr Andi Tatat, dan menantu Rizieq yakni Hanif Alatas. "(Penyidik telah) menetapkan tiga orang sebagai tersangka, (yakni) Rizieq, dr Tatat, dan Hanif Alatas," katanya, Senin (11/1).
Penetapan ketiga tersangka ini, setelah penyidik melakukan gelar perkara pada Jumat (8/1). "Penyidik sudah melaksanakan gelar pada hari Jumat tanggal 8 Januari 2021," kata Rian.
Diungkapkannya, ketiga tersangka dijerat Pasal 14 ayat 1 dan 2 UU No Tahun 1984. Ketiganya juga disangkakan Pasal 216 KUHP dan Pasal 14 serta Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946.
"Pasal 14 ayat 1 dan 2 UU 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit. Hasil dalam lidik, sidik konstruksi pasal ditambahkan. Pasal 216 KUHP. Pasal 14 dan 15 UU 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Maksimal 10 tahun (penjara)," ungkapnya.
Menurutnya, para tersangka akan dipanggil untuk dimintai keterangannya pada pekan ini. "Minggu ini pemanggilan pemeriksaan," ujarnya.
Kasus yang membelit tiga tersangka ini berawal saat HRS menjalani tes swab di RS UMMI yang dilakukan oleh tim dari MER-C secara diam-diam. Kemudian HRS yang masih menjalani observasi di RS tersebut, memutuskan pergi dari RS meski pihak RS sudah melarang karena pemeriksaan belum selesai.
Kemudian, Satgas COVID-19 Kota Bogor melaporkan Dirut RS UMMI dr Andi Tatat ke Polres Bogor, karena dinilai tidak transparan dan tidak kooperatif saat diminta memberikan penjelasan mengenai hasil swab Rizieq.
Atas penetapan tersebut, kuasa hukum HRS akan mengajukan praperadilan. Tim kuasa hukum HRS, Aziz Yanuar mengatakan pihaknya tak terima dengan pasal yang disangkakan.
"Karena pihak kepolisian menambah satu pasal di luar yang awal pada saat pemeriksaan saksi, yakni pasal 14 KUHP; Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun," katanya.
Dia menilai adanya kesewenang-wenangan hukum pada kasus HRS. "Maka kami akan tempuh insya Allah praperadilan. Ini dugaan bukti kesewenang-wenangan menggunakan hukum," jelas dia.
Aziz menduga kasus hukum yang dialami HRS sebagai alat untuk memukul pihak yang berbeda pendapat dengan penguasa.
"Dan dugaan hukum adalah alat politik untuk memukul yang berseberangan pendapat dengan penguasa. Motto kita Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu, tapi kita kadang tidak siap dengan perbedaan pendapat," jelasnya.
Bagi HRS, ini merupakan status tersangka yang ketiga setelah tiba di Tanah air pada 10 November 2020. Dalam dua bulan, HRS menyandang tiga status tersangka.