Kemudian jaksa memerintahkan dokter untuk melaksanakan tindakan kebiri kimia kepada pelaku persetubuhan segera setelah terpidana selesai menjalani pidana pokok, tindakan ini dilakukan di rumah sakit milik pemerintah atau rumah sakit daerah yang ditunjuk, dihadiri jaksa, perwakilan kementerian di bidang hukum, kementerian di bidang sosial, dan kementerian di bidang kesehatan.
Bila ada kesimpulan pelaku tidak tidak layak dkebiri kimia maka pelaksanaan hukuman itu ditunda paling lama enam bulan (pasal 10 ayat 1) dan dilakukan penilaian klinis ulang.
Jika disimpulkan lagi pelaku persetubuhan tidak layak maka jaksa memberitahukan secara tertulis kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dengan melampirkan hasil penilaian klinis ulang dan kesimpulan ulang.
Sementara bila pelaku melarikan diri maka pelaksanaan kebiri kimia ditunda dan jaksa berkoordinasi dengan polisi untuk mencari pelaku itu (pasal 11).
Terkait pendanaan pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak bersumber dari APBN, APBD, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Aturan ini ditandangani Kepala Negara pada 7 Desember 2020. Regulasi ini diundangkan pada waktu yang sama serta ditandangani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna H Laoly.
PP Nomor 70 Tahun 2020 itu sebelumnya sempat ditolak oleh sejumlah pihak. Salah satunya yakni Lembaga Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu mengaku sudah mengetahui informasi penandatanganan PP Nomor 70 Tahun 2020 oleh Presiden jokowi. Pihaknya pun akan segera mengambil sikap atas PP tersebut.
"Sudah dapat informasinya. Kita nanti buatkan rilis," katanya. (gw/zul)