Dikatakannya, sel-sel kelompok radikalisme memiliki organisasi yang bergerak sistematis. Mereka memiliki tugas dan spesialisasi di bidang siber, aksi teror nyata, propaganda, hingga kontra propaganda.
"Karena mereka dilatih kelompok teror, berikutnya mereka jadi bom-bom baru untuk bom bunuh diri kemudian melakukan kegiatan yang mengancam esensi negara melalui pejabat dan sebagainya," ujarnya.
Menurutnya, radikalisme muncul ketika ada sejumlah kelompok intoleran dan fundamental hadir di tengah-tengah masyarakat. Kedua kelompok ini yang harus menjadi perhatian agar tak terjerumus jaringan terorisme.
"Saya kira ini bukan main-main, ini perlu secara serius dari akar, awalnya yang diluruskan kelompok intoleran dan fundamental itu. Karena itu titik awal muncul kelompok radikal dan teroris tadi. Ini pekerjaan rumah jangka panjang," katanya.
Di sisi lain, analis terorisme dan intelijen dari Universitas Indonesia (UI), Stanislaus Riyanta menyebut para teroris remaja selalu mencari kesempatan menyasar pejabat VVIP.
"Teroris kalau punya kemampuan serta kesempatan, pasti akan menyerang VVIP," katanya.
Dicontohkannya, serangan kepada mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto di Pandeglang, Banten, 10 Oktober 2019. Penusukan kelompok Jamaah Ansarud Daulah (JAD) itu terjadi karena sel teroris berkesempatan melancarkan aksi di lokasi.
"Terbukti pada kasus Wiranto, karena ada kesempatan waktu itu yang jelas mereka menyerang," ujarnya.
Namun, target bisa berubah ketika kesempatan tidak muncul. Mereka mengalihkan serangan ke tingkatan lebih rendah. Contohnya, Kelompok Jamaah Islamiyah (JI) menyasar target yang menyimbolkan Amerika Serikat (AS).
"Maka yang diserang ketika bom Bali itu kan turis asing kan. Ketika ke JW Marriott (2009) itu kan simbol-simbol AS," ujar dia.
Kelompok-kelompok radikal lebih sering menyasar kerumunan jika target utama dan kedua tak bisa tercapai. Serangan ini sebagai target tingkat emergency, seperti insiden bom Thamrin, pada 2016 dan Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada 2017.
"Jadi target itu sudah mereka petakan dengan detail, target, dan utamanya apa," ucapnya.
Sebelumnya, Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, pengkaderan jaringan teroris JI sudah sangat teragenda rapih. Bahkan sudah ada 91 kader JI yang dilatih siap tempur, dimana 66 di antaranya sudah dikirim ke Suriah dan beberapa sudah kembali ke Indonesia.
"Mereka (JI) sudah menyiapkan kemampuan diri dengan pelatihan-pelatihan khusus guna mempersiapkan kekuatan melawan musuh yakni negara dan aparat. Sebagian besar dari mereka juga sudah berangkat ke Suriah bergabung dengan kelompok teror di sana dan berperan aktif dalam konflik di Suriah. Kemampuan yang sudah diasah di tempat pelatihan dan medan tempur sebenarnya (Suriah) menjadikan mereka sebagai potensi ancaman nyata," katanya.
Kader teroris ini, telah dipersiapkan melalui bagian struktur khusus. "Penanggung jawab atau amir Jamaah Islamiyah adalah Parawijayanto dan koordinator pelatihan adalah Joko Priyono alias Karso," ujarnya.
Menurutnya, ada banyak sekali faktor penyebab tumbuhnya radikalisme secara subur di Indonesia. Salah satunya adalah maraknya penyebaran berita bohong atau hoaks.