Kedutaan Besar Prancis di Jakarta mengklarifikasi pernyataan Presiden Emmanuel Macron tentang Islamisme radikal. Tanggapan itu diunggah di laman Facebook Kedubes Prancis, sepekan setelah kematian Paty guna mengklarifikasi komentar yang masuk di laman media sosial mereka.
"Sejumlah komentar yang ditulis di jejaring sosial melencengkan posisi yang dipertahankan oleh Prancis demi kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan penolakan ajakan kebencian. Komentar-komentar tersebut menjadikan pernyataan yang dibuat oleh Presiden Republik pada acara penghormatan nasional kepada Samuel Paty sebagai alat untuk tujuan politik," tulis Duta Besar Prancis untuk RI, Olivier Chambard dalam pernyataannya, Jumat (6/11).
"Padahal pernyataan itu bertujuan mengajak untuk melawan Islamisme radikal (radikalisme) dan perlawanan tersebut dilakukan bersama-sama dengan umat Muslim Prancis, yang merupakan bagian integral dari masyarakat, sejarah, dan Republik Prancis," sambungnya.
Olivier menjelaskan bahwa pernyataan yang dituturkan Presiden Macron adalah sebuah strategi untuk melawan separatisme yang menyasar Islamisme radikal.
"Semua negara demokrasi, terutama Prancis dan Indonesia, sedang memerangi Islamisme radikal ini, yang menjadi penyebab serangan teroris di wilayah mereka," tulisnya.
Sebelumnya, kata Olivier, Presiden Macron menyatakan dia tidak bermaksud sama sekali menyamakan semua pihak dalam pernyataannya. Dia secara tegas membedakan antara mayoritas warga Muslim Prancis, dengan minoritas militan, dan separatis yang memusuhi nilai-nilai Republik Prancis.
Macron menjadi sorotan akibat sejumlah pernyataannya yang dinilai menghina Islam, dan menuai kecaman dari negara mayoritas Muslim di penjuru dunia, salah satunya Indonesia.
Macron menyatakan tidak akan menghalangi penerbitan ulang karikatur Nabi Muhammad SAW oleh majalah satire Charlie Hebdo, dengan alasan mempertahankan kebebasan berpendapat.
Di sisi lain, Prancis juga diguncang serangkaian peristiwa berdarah dan lonjakan infeksi virus corona. Teror serangan dimulai pada 16 Oktober lalu, di mana seorang guru bernama Samuel Paty tewas dipenggal karena membahas karikatur Nabi Muhammad di kelasnya dalam pelajaran kebebasan berbicara.
Dewan Peribadatan Muslim Prancis (CFCM) yang merupakan lembaga resmi perwakilan umat Islam di Prancis dan mitra utama pemerintah juga menyatakan keprihatinan atas pembunuhan Paty.
"Pembunuhan keji tersebut mengingatkan kita pada bencana yang sayangnya menandai realitas yang tengah kita hadapi merebaknya radikalisme, kekerasan dan terorisme yang mengaku-aku atas nama Islam di negara kita, yang menimbulkan korban dari kalangan berbagai usia, berbagai kondisi dan berbagai keyakinan," ujar CFCM seperti dikutip dari pernyataan tersebut.
"Nilai-nilai yang mendasari Republik sekuler, tak terpecah-belah, demokratis dan sosial kita, dengan motto tritunggalnya, 'Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan' ini memungkinkan kita, Muslim Prancis, seperti halnya semua warga negara Prancis lainnya, untuk menjalankan ibadah dengan bebas atau untuk tidak menjalankan ibadah apa pun, untuk membangun masjid dan menikmati hak-hak kita sepenuhnya," tambahnya.
CFCM mengatakan, bahwa Prancis tidak menganiaya umat Islam di sana. Pihaknya juga menyatakan, bahwa hak dan kewajiban mereka dijamin di Prancis. (der/zul/fin)