Oleh: Dahlan Iskan
SAYA dianggap tidak adil: mengapa tidak pernah menulis penemuan obat Covid-19 yang satu ini. Yang menghubungi saya itu orang Jakarta. Pengusaha sukses. Punya pabrik kayu besar. Pernah menjadi produsen film satu kali: Sepatu Dahlan. Namanya Thamrin Anwar.
Ia punya manajer pabrik asal Bekasi. Ayah sang manajer itu lagi sakit. Terkena Covid-19. Demikian pula ibunya. Thamrin sendiri sudah mengikuti jejak saya: menjalani stem cell. Sudah beberapa kali. Termasuk stem cell untuk jenis T-cell.
Tempat stem cell-nya pun sama dengan saya: di klinik Dr dr Purwati. Ahli stem cell dari Universitas Airlangga. Yang kapan itu heboh nasional: menemukan obat cocktail untuk Covid-19. Yang bekerja sama dengan TNI-AD dan BIN itu.
Saya memang belum pernah menulis tentang itu. Awalnya karena jengkel: kok dokter Purwati sulit dihubungi. Padahal saya tidak bisa menulis tanpa wawancara dengannyi. Padahal biasanya kami saling tukar WA untuk banyak hal.
Saya begitu ingin menulis penemuan itu. Saya tahu kapasitas dokter Purwati. Meski S-1 sampai S-3-nyi di dalam negeri (Unair) tapi dia seorang ilmuwan hebat. Ia sudah mempresentasikan penemuan stem cell itu di banyak negara –Eropa dan Amerika Serikat.
Saya pun sudah lebih 10 kali menjalani stem cell di tempat praktiknyi: yang di Surabaya (dulu) maupun di Jakarta (sejak tiga tahun lalu). Mulai stem cell untuk peremajaan sel maupun T-cell untuk meregulasi sel dalam tubuh saya.
Saya tahu dokter Purwati tekun sekali mendalami masalah sel. Termasuk bagaimana dia bisa memilih satu sel terbaik dari diri kita masing-masing. Untuk kemudian dia ''ternakkan'' menjadi 200 juta sel –yang semua adalah sel yang sempurna. Lalu dimasukkan kembali ke tubuh kita. Itu untuk menggantikan sel-sel kita yang menua –baik karena umur maupun akibat proses pembelahan sel yang tidak sempurna.
Maka ketika saya membaca berita bahwa Unair menemukan obat cocktail untuk Covid-19, saya langsung menebak: pasti ada dokter Purwati di dalamnya. Tapi kok sulit dihubungi? Saya benar-benar jengkel.
Saya sudah biasa sangat kritis kepadanyi. Termasuk soal stem cell. Hal-hal yang sepele pun saya tanyakan. Kali itu pun saya akan mempertanyakan banyak hal tentang penemuan obat cocktail-nyi itu. Tapi tidak berhasil. Lalu keburu heboh. BPOM menganggap penemuan Unair itu belum memenuhi syarat sebuah penemuan.
Dokter Purwati kian sulit dihubungi. Juru bicara Unair pun diambil alih langsung oleh Rektor Unair sendiri, Prof Dr Mohammad Nasih, SE, MT, Ak, CMA. Saya enggan mewawancarai rektor. Yang ahli keuangan itu.
Beliau memang hebat. Baru kali ini ada rektor dipilih secara aklamasi. Tapi beliau bukan dokter. Apalagi ahli Covid. Saya ingin diskusi langsung dengan dokter Purwati. Tapi, rupanya, dokter Purwati sengaja ''disembunyikan''. Agar tidak menjadi sasaran heboh. Rektor menjadikan diri sebagai perisai. Rektor mengambil alih tanggung jawab itu. Maka saya pun tidak pernah menulis heboh-heboh itu.
Jiwa saya terbelah. Di satu sisi saya ingin memberikan apresiasi yang tinggi pada Unair dan pada dokter Purwati. Kalau obat cocktail itu ampuh, itulah jasa universitas kita yang terbaik di bidang Covid. Di sisi lain saya mendukung kehati-hatian lembaga pengawas obat dan makanan itu. Lalu saya melupakan penemuan Unair itu –sambil tetap jengkel ke dokter Purwati.
Sampailah saya membaca penemuan obat cocktail oleh sebuah perusahaan Amerika. Saya pun kembali teringat Unair dan dokter Purwati. Ternyata Amerika pun memikirkan obat Covid yang sifatnya cocktail –mencampur/mengombinasikan beberapa obat yang sudah ada.
Bahkan seorang presiden Amerika, Donald Trump, langsung mencobanya. Biar pun belum diproses oleh lembaga pengawas obat dan makanan di sana. Bahkan obat itu belum ada nama. Tapi Trump sudah menggunakannya.