Saya pun ingin tahu apakah cocktail yang di Amerika itu sama dengan cocktail yang dari Unair. Kalau tidak sama, mana yang lebih hebat. Belum tentu yang Amerika yang lebih hebat.
Saya pun ingin bertanya mengapa memilih memikirkan menemukan cocktail daripada menemukan obat baru. Tentu saya sudah bisa mengira jawabnya: untuk apa melakukan penelitian dari 0, kalau bisa memanfaatkan penelitian yang sudah ada. Kan bisa menghemat waktu yang luar biasa.
Apalagi Covid ini harus ditangani secara cepat dan darurat. Tapi dokter Purwati masih ''bersembunyi''. Sampailah akhirnya Minggu malam lalu. Ketika Thamrin Anwar mengirim WA ke saya. Yang isinya ''menggugat'' saya yang belum mau menulis soal penemuan Unair itu.
Thamrin tidak asal ''gugat''. Ayah dan ibu manajernya itu sudah lima hari di rumah sakit Bekasi. Keadaannya kian parah. Maka ketika Thamrin lagi menjalani stem cell, ia minta obat cocktail Unair ke dokter Purwati. "Dalam dua hari langsung sembuh," ujar Thamrin. "Ini obat ajaib sekali. Harus ditulis," tambahnya.
Saya pun membalas WA-nya. "Mengapa Pak Thamrin tidak memberi Lian Hua saja ke orang itu?" tanya saya. Saya tahu Thamrin punya simpanan obat Tiongkok Lian Hua banyak sekali. Untuk jaga-jaga kalau suatu saat terkena Covid-19.
Ia sudah mendatangkan Lian Hua ketika Covid baru saja masuk Indonesia. Saat itu juga saya dikirimi 2 boks Lian Hua. Agar saya simpan. Untuk jaga-jaga juga. Sampai sekarang Lian Hua itu masih tersimpan rapi di rumah saya.
Rupanya Thamrin belajar dari perjalanan Covid selama delapan bulan terakhir. Terutama dari orang-orang yang telah menggunakan Lian Hua. "Lian Hua memang bisa meredakan. Tapi tidak bisa membunuh virus corona ini," ujar Thamrin.
Sejak awal saya juga punya kesimpulan seperti itu. Lian Hua adalah herbal. Mana ada herbal bisa membunuh virus. Begitulah hukum dasarnya. "Saya sungguh percaya obat dari dokter Pur ini," ujar Thamrin. "Ini obat ajaib," tambahnya.
Saya pun menghubungi orang yang sakit itu. Ayah dari si manajer itu. Namanya: Djoko Wahyudi. Umur 56 tahun. Tinggal di Bekasi. Ketika saya telepon, Wahyudi tidak habis-habisnya mengatakan rasa syukur dan terima kasihnya pada obat itu.
Saya tanya apa pun, jawabnya terima kasih itu. Saking senangnya. Sekarang ia merasa sudah sehat sekali. Demikian juga istrinya, Dina Yanti –4 tahun lebih muda. Tiap pagi mereka jalan kaki –berolah raga.
Mereka memang tinggal berdua di rumahnya itu. Empat anaknya sudah berkeluarga semua –salah satunya menjadi manajer di perusahaan Thamrin Anwar. Wahyudi merasa dirinyalah yang terkena Covid dulu. Baru kemudian menular ke istri. "Mungkin saya terkenanya di pasar," ujar Wahyudi menduga.
Malam itu badannya terasa lemah. Saat mau kencing pun tidak kuat. Ketika bangun pagi badan kian lemah. Ia mulai curiga jangan-jangan terkena Covid. Maka ia ambil minyak kayu putih. Bukan untuk diusap tapi untuk tes penciuman. Wahyudi tahu salah satu tanda terkena Covid adalah hilangnya rasa penciuman.
"Lho kok minyak kayu putih ini baunya seperti rokok ya," katanya pada istrinya. Dia ulang dan ulangi. Tetap saja aroma minyak kayu putih itu seperti rokok. Saya pun baru tahu: bahwa penderita Covid itu bukan hanya kehilangan rasa penciuman. Tapi juga berubahnya aroma sebuah benda.
Maka Wahyudi merasa hampir pasti ia terkena Covid. Ia pun bergegas ke rumah sakit Awal Bros. Ia melakukan swab di situ: positif. Istrinya pun tes: positif. Sampai di situ badan masih lemah. Tapi tidak ada rasa panas. Tidak sesak. Tidak batuk.
Hari itu juga Wahyudi cari rumah sakit: RS Bhakti Kartini Bekasi. Besoknya istrinya juga masuk rumah sakit yang sama. Dengan tempat tidur yang hanya berjarak 2 meter dari suami. Sama-sama diinfus, disuntik dan diberi obat.
Tapi Wahyudi tidak tahu obat apa. Ia pensiunan di pabrik baja setamat dari SMA di Kediri. Istrinya juga pensiunan guru SD. Selama di rumah sakit itu suhu badannya panas: 39 derajat lebih. Tidak pernah bisa turun. Demikian juga istrinya. Ia juga berak-berak. Tapi tidak sampai sesak napas.