Naskah Resmi UU Omnibus Law Belum Diedarkan, Formappi: Bagaimana Bisa Paham Jika Naskahnya Saja Tak Tersedia?

Minggu 11-10-2020,07:40 WIB

Terlepas dari perdebatan soal substansi RUU Cipta Kerja, persoalan teknis dan prosedural juga penting untuk diungkap. Hal ini bisa semakin meyakinkan publik akan kejujuran DPR dan Pemerintah dalam melahirkan RUU tersebut.

Banyak klarifikasi yang disampaikan DPR dan pemerintah pasca demonstrasi buruh dan mahasiswa. Memberitahukan betapa RUU Cipta Kerja memang sangat diperlukan.

Hampir semua kritik yang disampaikan publik soal RUU ini hanyalah karena disinformasi atau berdasarkan hoaks yang muncul di media sosial. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus kepada Fajar Indonesia Network mengatakan, kalaupun DPR atau pemerintah benar bahwa penolakan yang disampaikan publik hanya karena disinformasi, maka nampaknya sumber kesalahan adalah pemerintah dan DPR sendiri.

Disinformasi itu selalu muncul karena referensi resmi tak tersedia atau tidak dibuka ke publik. Ketaktersediaan naskah resmi di website DPR soal perkembangan proses pembahasan dari waktu kewaktu dan apalagi di saat RUU sudah disetujui di Pembicaraan Tingkat I dan Paripurna adalah sumber dari malapetaka disinformasi yang akhirnya melahirkan protes masif buruh dan mahasiswa.

“Yang lebih aneh tentu saja ketika anggota DPR sendiri pun tak memegang naskah resmi itu, ketika RUU itu akan disahkan di paripurna,” ujarnya, Sabtu (10/10).

Tak perlu mencari dasar hukum untuk menilai keanehan atau kesalahan ini. Logika standard saja mampu menangkap keanehan itu.

Ia melanjutkan, bagaimana mungkin DPR berani menanyakan persetujuan atau penolakan atas RUU itu ketika naskahnya saja tak dibaca dan dipegang oleh anggota?

“Ingat lho yang mengikuti paripurna itu bukan hanya anggota Baleg yang mungkin mengetahui proses pembahasan hingga keputusan akhir pada pembicaraan tingkat I. Proses pengambilan keputusan di paripurna itu melibatkan semua anggota DPR,” tambahnya.

Karena itu, paripurna pengesahan RUU mengandaikan anggota DPR yang akan memberikan suara atau sikapnya sudah paham dengan apa yang mau diputuskan. Bagaimana bisa paham jika naskahnya saja tak tersedia.

Artinya, harus dikatakan bahwa proses pengambilan keputusan tanpa tahu apa yang mau disepakati itu sesungguhnya sebuah kekonyolan, Dan itu dilakukan DPR atas sebuah RUU penting yang kehadirannya direspons penolakan luas dari masyarakat.

“Bagaimana DPR mempertanggungjawabkan keputusan mereka jika mereka bahkan belum membaca draf RUU yang mau disepakati?” tanya Lucius.

Keanehan di atas, kata Lucius, sekaligus memunculkan pertanyaan, apakah ada kesengajaan yang dilakukan pihak tertentu agar anggota tak diberikan naskah RUU agar tak ada ruang untuk memperdebatkan substansi pada saat pengambilan keputusan? Dengan tanpa debat substansi, mudah akhirnya pimpinan memproses kesepakatan dengan mengandalkan suara fraksi yang menyampaikan pandangan mini mereka.

Pertanyaan lain bagaimana mempertanggungjawabkan keputusan yang diambil DPR dengan kondisi sebagian besar anggotanya tak mengetahui dan memahami detail RUU Cipta Kerja yang masu disahkan?

“Saya kira sih keputusan setinggi UU tak bisa hantam kromo saja. Anggota DPR yang memang memilikki fungsi legislasi harus bisa mempertanggungjawabkan keputusan mereka. Bahwa mereka mengatakan setuju atau tidak setuju untuk sesuatu yang mereka tak paham saya kira adalah sebuah persoalan serius,” paparnya.

Bagaimana mengharapkan publik bisa mendapatkan informasi yang benar jika bahkan mereka yang membuat kebijakan saja justru tak memegang informasi yang benar itu. Jadi Pimpinan DPR yang mengetok palu harus bertanggungjawab atas ketaktersediaan draf RUU di paripurna.

Tags :
Kategori :

Terkait