Pertumbuhan Ekonomi Kuartal IV Diprediksi Masih Minus, Daya Beli Masyarakat Kian Buruk

Jumat 02-10-2020,09:40 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal III/2020 kemungkinan akan minus pada 2,9 persen hingga 1,1 persen, bahkan proyeksi pertumbuhan minus ini diprediksi berlanjut ke kuartal IV/2020. Sehingga Indonesia masuk kategori resesi dikarenakan pada dua kuartal mengalami pertumbuhan negatif.

Parahnya lagi penyaluran anggaran penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN) belum mencapai 50% hingga akhir September. Sampai 28 September dana yang telah tersalurkan baru Rp304,62 triliun atau 43,8% dari total pagu anggaran sebesar Rp695,2 triliun.

Meski pun lagi-lagi pemerintah berjanji pencairan dana PC-PEN terus dipacu setiap pekan. Bahkan seminggu terakhir, pemerintah telah menyalurkan Rp35,1 triliun.

Menanggapi hal ini, Anggota Komisi XI DPR RI Junaidi Auly menegaskan Indonesia masuk resesi didasarkan beberapa kondisi ekonomi yang semakin memburuk.

”Kondisi yang semakin memburuk, dapat dilihat dari penurunan daya beli, dimana Pada triwulan II-2020, konsumsi rumah tangga tumbuh negatif hingga 5,5 persen,” terang Junaidi kepada Fajar Indonesia Network (FIN) Kamis (1/10)

Data BPS pada Agustus 2020 mencatat pengeluaran konsumsi rumah tangga pada triwulan II/2020 mengalami pertumbuhan negatif 5,5 persen padahal pada kuartal I/2020 masih berada di titik 2,83 persen.

Lesunya konsumsi rumah tangga terlihat pada sektor makan, minuman yang minus 0,71 persen. Selain itu ada sektor pakaian, alas kaki dan jasa perawatannya yang mengalami minus 5,13 persen, transportasi dan komunikasi minus 15,33 persen, restoran dan hotel minus 16,53 persen.

”Penurunan daya beli sejalan dengan lonjakan tingkat pengangguran sepanjang Covid-19. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah tenaga kerja yang terimbas corona hingga 3,5 juta. Situasi seperti ini semakin sulit karena Covid yang menyebabkan sektor formal dan informal terpengaruh,” jelasnya.

Lebih lanjut, Aleg PKS asal Lampung ini menegaskan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) seharusnya menjadi harapan sebagai penahan daya beli saat covid menyerang ekonomi nasional. Namun yang terjadi realisasi PEN sangat lambat dan terhambat birokrasi. Ini memperlihatkan pemerintah tidak memiliki sense of crisis.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik mencatat indeks harga konsumen pada September mencatatkan penurunan atau deflasi sebesar 0,05% pada September. Deflasi telah terjadi di Indonesia selama tiga bulan berturut-turut sejak Juli terutama disumbang oleh penurunan harga pangan akibat daya beli yang masih lemah.

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, perkembangan harga berbagai komoditas di 90 kota yang dipantau mencatatkan penurunan sehingga IHK pada September mencatatkan deflasi sebesar 0,05%. Dengan deflasi tersebut, maka inflasi sepanjang tahun ini ata year to date sebesar 0,89%, sedangkan secara tahunan atau year on year sebesar 1,42%.

”Data yang ditunjukan menunjukan deflasi bulan lalu, maka sudah terjadi deflasi berturut-turut selama tiga bulan dengan deflasi pada Juli 0,1% dan Agustus 0,05%,” jelas Suhariyanto dalam konferensi pers, Kamis (1/10).

Dari 90 kota yang disurvei, 56 kota mengalami deflasi, sedangka 34 kota mengalami inflasi. Deflasi terendah terjadi pada tiga kota yakni Bukit Tinggi dan Jember, sedangkan inflasi tertinggi terjadi di Gunung Sitoli sebesar 1%.

Deflasi terutama terjadi pada kelompok barang harga bergejolak dan harga yang diatur pemerintah sebesar 0,6% dan 0,19% dengan andil sebesar 0,1% dan 0,03%. Sedangkan kelompok harga inti masih mencatatkan inflasi sebesar 0,15% dengan andil sebesar 0,08%.

”Inflasi inti disumbang kenaikan uang kuliah dengan andil 0,03%, selain itu masih ada kenaikan harga emas perhiasan dengan sumbangan sebesar 0,01%,” katanya.

Tags :
Kategori :

Terkait