Pemerintah Tak Boleh Komersilkan Pendidikan

Rabu 30-09-2020,09:40 WIB

Pembahasan tentang Perizinan Berusaha di sektor pendidikan dalam RUU Cipta Kerja, masih berlanjut. Meskipun sebelumnya Pemerintah menyatakan mencabut 193 butir daftar inventarisasi masalah (DIM) klaster pendidikan, tetapi Pemerintah mengajukan norma baru terkait perizinan berusaha lembaga pendidikan.

Pemerintah diketahui mengusulkan dua ayat baru terkait perizinan berusaha di sektor pendidikan. Yang pertama Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha. Yang kedua, ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan, diatur dengan peraturan pemerintah.

Menanggapi usulan tersebut, anggota Panja RUU Cipta Kerja dari Fraksi PKS, Mulyanto, mendesak Pemerintah mencabut secara keseluruhan pasal terkait pendidikan. “Jangan disisakan. Tidak usah tanggung-tanggung. Apalagi dengan menambah norma baru," tegas Mulyanto di Jakarta, Selasa (29/9).

Menurutnya, norma baru usulan pemerintah tersebut secara filosofis tetap mengasumsikan pendidikan adalah sektor komersil yang bersifat laba. Sehingga memerlukan perizinan berusaha.

Padahal Panja RUU Cipta Kerja sudah sepakat menyatakan pendidikan adalah tugas negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, “Ini bukan dimensi komersial, namun nirlaba," imbuhnya.

Mulyanto menambahkan, pendidikan adalah masalah vital dan merupakan amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian penyelenggaraan pendidikan harus dijauhkan dari niat komersialisasi.

"Ini adalah tugas Pemerintah. Negara tidak boleh melepas tanggung jawabnya dalam masalah pendidikan dan menyerahkannya pada mekanisme pasar, melalui prinsip laba dan liberalisasi pendidikan,” bebernya.

Dikatakan, pendidikan itu bukan komoditas industri jasa. Ini adalah soal tanggung jawab sosial negara. “PKS menolak komersialisasi pendidikan dengan semangat liberal kapitalistik. Dimana menjadikan pendidikan sebagai barang dagang komersil industri jasa,” ucapnya.

PKS menilai pemerintah terkesan memaksakan diri dengan penambahan norma baru tersebut. Padahal, sektor pendidikan tidak terkait langsung dengan upaya membangun kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif serta penciptaan lapangan kerja.

"Karena itu pemerintah sebaiknya tidak usah menambah norma baru terkait perizinan berusaha. Tidak harus juga menyamakan nomeklatur perizinan di sektor pendidikan dengan perizinan berusaha. Kita telah sepakat sektor pendidikan tidak masuk dalam sektor berusaha,” paparnya.

Sementara itu, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas menjelaskan, dalam pembahasan klaster ketenagakerjaan pada Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker), DPR RI dan Pemerintah berusaha memberikan hak pekerja dan kewajiban bagi pengusaha pada proporsi yang baik dan adil.

Salah satu poin penting yang memberikan hak bagi pekerja adalah premi Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Supratman menjabarkan semua keputusan politik yang diambil untuk menjembatani hubungan pengusaha dan buruh pada klaster ketenagakerjaan RUU Ciptaker sudah cukup baik.

“Keputusan yang kami ambil ini keputusan yang bisa bermanfaat bagi kedua belah pihak dan bagi bangsa dan negara," jelas Supratman di Jakarta, Selasa (29/9).

Politisi Fraksi Partai Gerindra ini mengungkapkan, soal JKP dalam RUU Ciptaker akan ditegaskan sebagai keringanan bagi pekerja. "Keputusan politik yang DPR dan pemerintah ambil tidak boleh menambah beban kepada pekerja. Itu titik poinnya," tambah Supratman.

Dalam JKP ada fasilitas berupa transfer dana kas atau dana tunai per bulan. Selain itu, ada juga pemberian pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas dan skill serta pemberian akses informasi atau penyaluran tenaga kerja terkena PHK kepada perusahaan pemberi kerja.

Tags :
Kategori :

Terkait