Pekerja yang Di-PHK Hanya Diberi Pesangon Pengusaha 23 Gaji, RUU Cipta Kerja Picu Polemik

Selasa 29-09-2020,07:20 WIB

Kebijakan Jaminan Kelangsungan Pekerja (JKP) dalam RUU Cipta Kerja yang saat ini dibahas di DPR RI menjadi polemik. Legislatif menyebut, aturan soal JKP ini memang menguntungkan pengusaha, tetapi akan membebankan keuangan negara.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) Mulyanto mengatakan JKP adalah jaminan asuransi untuk kelangsungan pekerja yang khusus diajukan Pemerintah dalam RUU Cipta Kerja. Dimana preminya dibayar dari APBN serta mengoptimalkan dana BPJS ketenagakerjaan.

"Dalam skema ini, JKP mensubstitusi pesangon sebesar 9 kali gaji, yang dalam UU Ketenagakerjaan seluruhnya (sebanyak 32 kali gaji) dibayarkan oleh pihak pemberi kerja," kata Mulyanto di Jakarta, Senin (28/9).

Dia menilai program ini tidak memberi manfaat tambahan bagi pekerja. Dengan program JKP ini pekerja yang di PHK akan tetap mendapat pesangon 32 kali gaji. Hal ini sama dengan ketentuan yang berlaku dalam UU Ketenagakerjaan yang berlaku sekarang.

JKP hanya bermanfaat bagi pihak pengusaha. Karena akan mendapat subsidi pesangon untuk pekerja yang di-PHK sebanyak 9 kali gaji. Dengan JKP ini pengusaha cukup membayar 23 kali gaji.

“PKS menilai JKP berpeluang mempersulit pekerja dalam mendapatkan pesangon yang layak sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Fraksi PKS tidak setuju dan memberi catatan tebal terhadap RUU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan. Khususnya yang terkait dengan pesangon yang sebagian akan dibayarkan oleh APBN,” paparnya.

Dalam kondisi fiskal APBN yang lemah dan ancaman resesi ekonomi, lanjutnya, pengaturan ini akan semakin menyulitkan keuangan negara.

Sebelumnya dalam pembahasan klaster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja, yang dikebut sejak Jumat (25/9), Pemerintah tetap pada skema pesangon sebesar 32 kali gaji. Dimana 23 kali merupakan kewajiban pemberi kerja dan 9 kali gaji diambil dari JKP (Jaminan Kelangsungan Kerja).

Di dalam UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, seluruh besaran pesangon tersebut merupakan kewajiban bagi pemberi kerja. Jumlah total pesangon, besaran 32 kali gaji ini memang sama dengan ketentuan dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dari sisi pekerja, mereka menerima besaran pesangon yang sama seperti diatur dalam UU yang ada sekarang. Namun dari sisi pengusaha, mereka sangat diuntungkan dengan RUU Cipta Kerja ini.

Karena 9 kali gaji yang sebelumnya menjadi kewajiban mereka, dibayar oleh JKP yang preminya diambil dari APBN dan BPJS Ketenagakerjaan. “Kondisi ruang fiskal kita terbatas. Selain karena pandemi, utang pemerintah yang menumpuk, serta di tengah bayang-bayang resesi ekonomi. Ketentuan ini akan menjadi beban yang tidak sedikit bagi keuangan negara,” ucapnya.

Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama Pemerintah dan DPD menyepakati sanksi pidana yang sudah ada dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak akan dimasukkan dalam Daftar Inventarisir Masalah (DIM) di Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) klaster ketenagakerjaan.

"Sanksi pidana terkait dengan UU Ketenagakerjaan tetap seperti di UU eksisting. Apakah disetujui?" kata Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas.

Setelah itu, anggota Baleg bersama perwakilan Pemerintah dan DPD RI menyatakan setuju dihapusnya DIM terkait sanksi pidana dalam klaster ketenagakerjaan di RUU Ciptaker.

Dalam UU Ketenagakerjaan, sanksi pidana diatur dalam Pasal 183 hingga Pasal 189. Supratman mengatakan dalam Raker tersebut juga disepakati bahwa semua DIM yang berhubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai UU Ketenagakerjaan akan disesuaikan.

Tags :
Kategori :

Terkait