Pelibatan TNI dalam menanggulangi atau memberantas terorisme merupakan langkah tepat. Hal tersebut sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Rektor Universitas Pertahanan (Unhan) Laksamana Madya TNI Amarulla Octavian menegaskan pelibatan TNI dalam penanganan terorisme sudah tepat. Ini sesuai dengan UU No 5 Tahun 2018 tentang Amandemen Undang-undang RI No 15 Tahun 2003 pada Pasal 43I Ayat (1) tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme.
Meski demikian, pada pelaksanaann keamanan nasional disebutkan dalam Undang-Undang Penanganan Terorisme ditangani oleh Polri dan TNI. Polri mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018. Sementara TNI ada UU Nomor 17 Tahun 1985, UU Nomor 34 Tahun 2004, dan UU Nomor 5 Tahun 2018.
"Perang melawan terorisme ialah aksi militer dalam konteks penegakan hukum maupun kedaulatan negara," tegasnya dalam Webinar bertajuk "Operasi Militer Selain Perang (OMSP) TNI: Kontra Terorisme Dalam Perspektif Keamanan Nasional", di Jakarta, Selasa (22/9) kemarin.
Perang melawan terorisme, tidak lagi hanya mengandalkan aktor-aktor penyelenggara keamanan nasional semata. Tapi juga harus melibatkan banyak lembaga negara dan semua institusi pemerintah lainnya.
"Harus juga membangun kerja sama lintasnegara dalam bentuk keamanan dengan semua negara dan organisasi internasional di dunia dalam menangani terorisme," ujarnya.
Dijelaskannya, dalam perspektif TNI, aksi teror adalah sebagai salah satu bentuk OMSP dalam menghadapi peperangan asimetris dengan empat kriteria.
Pertama, korban atau sasaran teror adalah pejabat negara, institusi sipil dan militer yang menjadi simbol negara. "Kedua, senjata yang digunakan adalah senjata pemusnah massal, nuklir, gas beracun, bakteri atau virus," lanjutnya.
Kemudian, yang ketiga menurutnya adalah lokasi aksi terorisme itu sendiri, apakah di lautan dan udara Indonesia. Dan terakhir terjadi di kapal atau pesawat registrasi internasional berbendera Indonesia atau negara lain.
"Jika suatu aksi teror terindikasi memenuhi salah satu atau lebih empat kriteria tersebut, maka TNI sah demi hukum untuk bertindak mengatasinya," ucapnya.
Menurutnya, di sejumlah negara maju, militer bahkan dilibatkan secara penuh dengan lembaga keamanan nasional setempat. Bahkan, mekanisme militer tersebut dalam penanganan terorisme sangat ideal diterapkan.
Seperti di Amerika Serikat yang memiliki kekuatan militer dalam menghadapi terorisme. Kekuatan militer tersebut di antaranya US Navy Seal dan US Delta Force. Keduanya pun punya aturan main dan Undang-undang tersendiri, tetapi berkomitmen bagaimana untuk bekerja sama.
"Jadi di Amerika Serikat itu sebenarnya pasukan antiterornya itu lebih dari enam, tetapi demikian, mereka tidak melihat tumpang tindih kewenangan itu sebagai hal yang negatif. Tumpang tindih kewenangan dilihat positif bagaimana mereka bisa bekerja sama satu dengan yang lainnya, dengan kepolisian, FBI, CIA dan sebagainya," paparnya.
Selanjutnya di Prancis, penanganan antiterorisme ditangani oleh angkatan bersenjata Commandement des Operations Speciales. Sementara Inggris memiliki SAS British Army, di Rusia yaitu Spetsnaz, di Jerman ada Grenzschutzgruppe-9, dan di Korea Selatan yaitu Special Forces Brigades.
"Ini adalah contoh-contoh pasukan di dunia yang mereka sangat terintegrasi dengan sistem keamanan nasional negara masing-masing," jelas dia.