Untuk Indonesia, lanjut Octavian, terdapat satuan antiteror seperti Satgultor Kopassus TNI AD, Denjaka TNI AL, Den Bravo Korpaskhas TNI AU, Densus 88 Polri, lalu Koopsus TNI.
"Jadi, kesan adanya tumbang tindih kewenangan terkait penanganan terorisme harus dilihat dari perspektif positif," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid menuturkan, pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme sesuai dengan UU No 34 tahun 2004 tentang TNI, serta aturan-aturan lainnya yang berlaku.
"Kita pernah melihat apa yang terjadi di Marawi, Filipina, tiga tahun silam, yang menunjukan ancaman terorisme dapat berubah menjadi ancaman yang serius bagi keamanan dan pertahanan sebuah negara jika tidak ditangani dengan tepat dan efektif," ucapnya.
Selain itu, menurut Meutya, perlibatan TNI dalam mengatasi terorisme di Indonesia sesungguhnya bukan hal yang baru. Hal tersebut bisa dilihat dari suksesnya operasi Satgas Tinombala yang berhasil melumpuhkan teroris Santoso.
Oleh karena itu, Komisi I DPR RI melihat pentingnya peran serta TNI sebagai salah satu elemen bangsa dalam penanggulangan terorisme secara holistik di Indonesia.
"Namun, kami melihat juga pelibatan tersebut harus melalui mekanisme perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak kontra produktif dalam penanggulangan terorisme, serta dalam menjaga semangat reformasi dan iklim demokrasi di Indonesia," ucapnya.
Namun demikian, Meutya juga memandang, pemberantasan terorisme harus dimulai dalam aspek pencegahannya, sehingga harus dilakukan secara simultan.
"Dalam pemberantasan terorisme, aspek pencegahan secara simultan, terencana, dan terpadu, perlu dikedepankan," katanya.
Menurut dia, agar pencegahan itu dapat berjalan optimal, maka harus melibatkan semua pihak yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Selain itu, perlu juga ada penguatan fungsi kelembagaan.
"Seluruh komponen bangsa kita harapkan juga bergabung melalui upaya kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi dan deradikalisasi yang dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme," ujarnya.
Hal yang diungkapkan Duta Besar RI untuk Selandia Baru Tantowi Yahya. Dia mengatakan kebersamaan untuk menumpas terorisme dikenal dengan istilah "sense of togetherness".
"Semua unsur atau semua stakeholder yang ada itu terlibat dalam penanganan krisis. Karena kita berbicara terorisme, maka sense of togetherness ini terefleksi dengan jelas dalam upaya penanganan terorisme ini," ujarnya.
Dia mencontohkan di Selandia Baru. Selain pemerintah dan lembaga terkait, tokoh masyarakat juga diminta untuk melakukan pencegahan terorisme.
"Jadi peran mendalam para informal leaders. Tokoh-tokoh adat, pemuka agama, akademisi di sini betul-betul membantu pemerintah," terangnya. (gw/zul/fin)