Setuju BTP

Rabu 23-09-2020,07:20 WIB

Direksi yang tidak normal akan berani. Tapi ini mudah menindaknya: ketika direksi minta persetujuan laporan perusahaan jangan ditujui.

Menjadi Dirut di BUMN itu seperti harimau di kebun binatang. Kelihatannya berwibawa tapi tidak bertaring. Ia diawasi Komut dan seluruh dewan komisaris. Juga diawasi kuasa pemegang saham. Masih diawasi pemegang saham yang sudah memberi kuasa. Lalu diawasi oleh presiden dan wakil presiden.

Masih diawasi oleh DPR. Semua atasan itu minta laporan. Di BUMN itu ada bagian yang pekerjaannya khusus bikin laporan –saking banyaknya laporan yang harus dibuat. Seolah perusahaan itu dianggap sehat kalau sudah bikin laporan.

Tidak ada pimpinan perusahaan yang atasannya begitu banyak seperti dirut BUMN.

Ke atas ia sulit sekali.

Ke bawah juga sulit.

Belum tentu para direktur di bawahnya itu loyal pada dirut. Bisa jadi di antara direktur itu suka nyelonong sendiri ke kementerian BUMN ¬–seperti yang dikeluhkan Ahok. Tanpa sepengetahuan dirut.

Bisa juga di antara direktur itu yang punya backing tokoh politik.

Saya pernah memberi posisi sentral pada semua dirut BUMN. Saya ajak dirut terpilih, untuk rundingan: siapa saja direksi yang layak diangkat. Agar kompak. Agar menjadi satu tim yang unggul.

Saya larang para direktur ke kementerian BUMN –tanpa penugasan dari dirut. Saya larang pejabat kementerian BUMN memanggil direktur tanpa seijin dirut.

Bahkan saya minta agar dirut mau lapor kalau ada komisaris yang menghambat program direksi. Sebab bukan hanya direksi yang kadang punya kepentingan sendiri. Pun para komisaris.

Tapi itulah BUMN. Tidak ada kebijakan yang bisa berjalan untuk jangka yang panjang. Selalu saja ada kebijakan baru setelah itu.

Posisi Dirut pun sama dengan Komut: sama-sama kejepit.

Pokoknya energi seorang direktur utama di BUMN itu lebih banyak habis bukan untuk mencari cara nemajukan perusahaan.

Anehnya banyak sekali yang mau dan ingin jadi dirut BUMN. Ini agak mencurigakan: kenapa.

Seperti saya.

Tags :
Kategori :

Terkait