"Tapi itu saya menyerahkan sepenuhnya karena Dewan Pengawas yang berhak melakukan penelitian dan verifikasi kepada perusahaan helikopternya. Dan juga kemudian menyimpulkannya adakah dugaan gratifikasi atau tidak," ucap Boyamin.
Boyamin menerangkan, pelaporan yang dilayangkannya bermaksud untuk mengingatkan Firli agar tidak mengulang peristiwa tersebut. Sebab, apapun alasannya, menurut dia, penggunaan helikopter mewah merupakan salah satu bentuk gaya hidup hedonisme yang dilarang oleh kode etik KPK.
"Tidak bisa dipungkiri. Soal itu bahwa membayar sendiri pun itu tetap bergaya hidup mewah. Main golf saja yang bayar Rp1 juta, maksimalnya Rp5 juga saja sudah dianggap sebagai bentuk hidup mewah, apalagi ini naik ke helikopter mewah. Dan itu hanya untuk perjalanan pulang kampung yang waktunya cukup untuk pakai kendaraan darat yang dimiliki oleh Pak Firli mestinya," tutupnya.
Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris sebelumnya menyatakan, persidangan etik terhadap Yudi dan Firli rampung dilakukan. Putusan akan dibacakan pada 15 September 2020.
Selama kurun Agustus hingga September 2020, Dewas KPK melakukan persidangan atas tiga laporan dugaan etik yang dilakukan pimpinan dan pegawai KPK. Selain Yudi dan Firli, Dewas KPK juga melakukan sidang etik terhadap Pelaksana Tugas Direktur Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK Aprizal (APZ).
Aprizal dilaporkan ke Dewas KPK lantaran diduga melanggar kode etik terkait operasi tangkap tangan (OTT) di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Hanya saja, menurut Haris, sidang terhadap Aprizal belum rampung dilakukan. (riz/gw/zul/fin)