Sejumlah menteri kerap disorot publik karena kinerjanya yang dinilai buruk. Namun, ancaman reshuffle yang sempat disampaikan Presiden Jokowi di akhir Juni lalu hingga kini belum tampak direalisasi.
Padahal, menurut Director Survei and Polling Indonesia (SPIN) Igor Dirgantara, gejala kurang kondusif di internal kabinet sudah terlihat jelas di periode kedua Presiden Joko Widodo ini.
Bahkan beberapa menteri baru-baru ini kembali berpolemik. Sebut saja Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir yang memberi restu pemberian staf ahli bagi direksi yang jelas-jelas berlawanan dengan Surat Edaran (SE) menteri terdahulu, yakni Dahlan Iskan.
Belum lagi Menteri Agama Fachrul Razi yang membuat publik bereaksi terkait sertifikasi ulama. Kondisi ini, kata Igor, sejatinya sudah cukup bagi presiden merealisasikan kemarahannya beberapa waktu lalu untuk merombak kabinet bila ingin pemerintahannnya berjalan baik.
Selain itu, reshuffle juga perlu dilakukan agar kepala negara benar-benar mendapat atensi dari para bawahannya.
“Lebih baik presiden segera lakukan reshuffle daripada marah-marah lagi. Jangan cuma membubarkan lembaga negara ecek-ecek, tetapi nanti ujungnya marah-marah lagi,” kata Igor Dirgantara dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (9/9).
Hal ini merujuk pada keputusan presiden beberapa waktu lalu yang lebih memilih membubarkan 18 tim kerja, badan, dan komite resmi.
Pembubaran tersebut tercantum dalam Pasal 19 Perpres 82/2020 tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang ditandatangani pada 20 Juli 2020.
Presiden, jelasnya, punya hak prerogratif yang tak hanya melekat pada presiden, melainkan juga menyangkut kewibawaannya dalam sistem politik presidensial.
“Jika tidak ada reshuffle, mendingan enggak perlu marah karena bisa jadi bahan guyonan di publik. Dalam perspektif budaya Jawa, seorang pemimpin yang sering mempertontonkan emosi kemarahan di depan umum bisa dimaknai telah menunjukkan kelemahannya sendiri,” tandasnya. (rmol/pojoksatu/ima)