"Bertemulah dokter ini di Singapura," ujar Prof Budi sambil menuliskan nama dokter itu. "Nanti malam saya telepon dokter itu," tambahnya.
Saya pun tidak perlu membuat janji sendiri. Begitu tiba di RS Mt. Elizabeth saya bisa langsung masuk ke ruang praktiknya.
"Bengkak ini tidak bisa diatasi tanpa operasi?" tanya saya.
"Mau dibiarkan saja?" tanya dokter.
"Kalau bengkaknya terus membesar bagaimana?" tanya saya sambil menunjuk sepatu yang sudah sesak.
"Beli saja sepatu yang lebih besar. Lalu beli lagi yang lebih besar lagi," jawabnya.
Saya tahu itu hanya humor. Seperti juga temannya yang di Surabaya itu.
Ia hanya bisa membantu saya untuk buying time. Agar saya tidak mati mendadak akibat pecahnya varises di saluran pencernaan –lalu muntah darah.
Setelah itu saya harus transplan hati. "Tidak ada jalan lain," katanya.
Dokter itulah yang membuat saya mengambil kata putus: ganti hati. 14 tahun lalu.
Saya akan mengabarinya bahwa teman baiknya di Surabaya baru saja meninggal. Tentu ia akan banyak bertanya mengapa sampai terjadi. Apalagi istri Prof Budi Warsono juga lagi kritis di ICU.
Setidaknya temannya itu akan sangat lega karena semua cita-cita Prof Budi sudah tercapai.
Tentu Prof Budi sudah lama melupakan saat-saat menderita dalam status 'ngenger' di Surabaya. Yang masa itu selalu beliau kenang sebagai masa yang 'termiskin di dunia' –terasa ini pun mengutip judul sebuah lagu.
Masa itu ia harus meninggalkan kampungnya di Blitar. Ia baru tamat SMAN 1 Blitar –salah satu SMA terbaik di Jatim saat itu.
Ayahnya pegawai negeri rendahan. Ibunya bidan. Tapi ia masih punya satu kakak dan dua adik. Tahun itu adalah puncak kesulitan ekonomi Indonesia –di akhir masa pemerintahan Bung Karno. Sang ayah masih harus membiayai saudara-saudaranya.
Untungnya Budi lulus terbaik di SMA Blitar. Ia diterima di tiga fakultas kedokteran sekaligus: Airlangga, UI, dan UGM. Tentu ia memilih Airlangga –di zaman itu Airlanggalah Fakultas Kedokteran terbaik di Indonesia.