Oleh: Dahlan Iskan
Ketika IDI Pusat melakukan acara keprihatinan atas meninggalnya 100 dokter Indonesia minggu lalu, Prof Dr Budi Warsono masih di ICU rumah sakit Darmo Surabaya. Demikian juga istrinya.
Sama-sama tertular Covid-19.
Tokoh ahli penyakit dalam Surabaya itu tidak pernah mau bercerita di mana ia tertular Covid-19. Tapi sangat terkenal: tempat praktiknya di Jalan Diponegoro Surabaya–hanya sepelemparan batu dari RS Darmo– sangat ramai.
Ia dokter favorit. Gayanya santai. Banyak humornya. Tidak pernah menakut-nakuti orang sakit. Sering pula memeriksa pasien sambil menyanyikan sepotong lagu Elvis Presley.
Saya adalah salah satu pasiennya.
Prof Budi sering menahan saya agar lebih lama di ruang praktiknya. Untuk ngobrol. Tapi saya tidak pernah mau: begitu panjang antrian di belakang saya.
Saat meninggal beliau berusia 76 tahun. Praktiknya terus ramai. Ketika terasa nafasnya sesak Prof Budi masuk RS Darmo.
Itu tanggal 25 Agustus 2020.
Setelah sembilan hari dirawat di ICU, Prof Budi membaik. Kamis lalu ia sudah minta HP. Sudah bisa guyon lagi. Sudah telepon ke sana ke mari. Keesokan harinya, Jumat, ia sampai menangis. Dadanya tiba-tiba sesak lagi. Tambah berat. Hari Sabtu kian kritis. Minggu dini hari kemarin beliau meninggal dunia.
Saya baru selesai senam Minggu pagi 1,5 jam saat menerima berita duka itu. Ketika tiba di rumah, saya sudah menerima foto-foto itu: ambulans yang membawa jenazahnya berhenti di halaman RS Darmo. Terlihat di foto itu sejumlah orang salat jenazah di halaman dan di teras rumah sakit –menghadap ke ambulans.
Itulah ambulans yang membawa Prof Budi ke pemakaman khusus Covid-19 di Keputih Surabaya Timur.
Ambulans itu tidak mampir ke aula Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Inilah guru besar kedua, dalam sebulan ini, yang jenazahnya tidak disemayamkan di Fakultas Kedokteran. Yang pertama adalah Prof Yogiantoro yang juga terkena Covid-19.
"Sedih sekali. Dua-duanya guru kami yang sangat menyenangkan," ujar dr Brahmana, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya.
Prof Budi Warsono masuk Fakultas Kedokteran Unair tahun 1964. "Tapi karena penggabungan mahasiswa akhirnya menjadi satu angkatan dengan saya," ujar Prof. Dr. Suhartono, ahli kandungan, yang masuk Unair tahun 1965.