Berdasarkan Laporan Keuangan semester I tahun 2020 PT Pertamina menderita kerugian sebesar USD 767.92 juta atau sekitar Rp11,33 triliun (kurs 1 USD = Rp14.766).
Hal tersebut dinilai merupakan kemunduran cukup signifikan dibanding periode yang sama tahun 2019 yang pada saat itu Pertamina melaporkan laba sebesar USD 659.96 juta atau setara Rp9,7 triliun.
Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR pada (26/8) lalu, Direktur Keuangan PT Pertamina Emma Sri Martini menjelaskan ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab kerugian Pertamina. Yaitu turunnya harga minyak dunia, anjloknya kurs rupiah terhadap USD dan merosotnya permintaan BBM.
Harga minyak turun menyebabkan sektor hulu Pertamina merugi. Sedangkan turunnya permintaan BBM akibat COVID-19 menyebabkan sektor hilir merugi. Turunnya kurs berdampak pada tambahan beban keuangan, karena pembukuan Pertamina berbasis USD.
Menanggapi penjelasan Direktur Keuangan PT Pertamina, Anggota komisi VI Amin Ak mengatakan yang menjadi masalah bukan hanya ketiga faktor tersebut.
“Ada penyebab lain yang sangat membebani Pertamina. Semuanya berpangkal pada kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan konstitusi, aturan dan prinsip good corporate governance (GCG),” ungkap Amin Ak di Jakarta, Sabtu (5/9).
Pertama, kata Amin, Pertamina harus membayar signature bonus (SB) Blok Rokan sebesar USD 784 juta (sekitar Rp11,3 triliun). Padahal sesuai Pasal 33 UUD 1945, pengelolaan Blok Rokan adalah hak mandatory Pertamina. Hal yang lebih runyam, meskipun baru mengoperasikan Rokan Agustus 2021, Pertamina harus membayar SB pada 2018/2019.
“Akibatnya Pertamina harus menerbitkan surat utang untuk membayar itu. Seharusnya cadangan blok Rokan diperhitungkan sebagai penyertaan modal negara (PMN), tanpa SB, dan berlaku sejak pengelolaan dimulai Pertamina Agustus 2021,” beber Amin.
Kedua, Pertamina harus membeli minyak mentah (crude) domestik dengan harga Indonesia Crude Price (ICP) lebih mahal sekitar USD 8 per barel (blok Banyu Urip) dan USD 11 per barel (blok Duri) dibanding ICP crude jenis lain.
Hal ini terlihat dari Kepmen ESDM No.79.K/2020 tanggal 1 April 2020. Kepmen ini berlaku untuk ICP Maret 2020. Untuk bulan-bulan lain, antara Januari-Juni 2020, diperkirakan anomali perbedaan harga masih sama.
“Produksi lapangan Banyu Urip sekitar 210.000 barel per hari (bph). Sedangkan lapangan Duri sekitar 170.000 bph. Jika seluruh produksi minyak kedua daerah tersebut dibeli Pertamina, maka nilai kemahalan yang harus dibayar Pertamina (asumsi USD/Rp=14.500, 1 semester = 180 hari, Red) adalah USD 639 juta atau sekitar Rp 9,25 triliun. Nilai kemahalan atau kerugian Pertamina di atas dihitung atas dasar 100 persen produksi Banyu Urip dan Duri dibeli oleh Pertamina,” urainya.
Ketiga, imbuhnya, Pertamina harus menanggung beban kebijakan populis menjelang Pilpres 2019. Sehingga harus menanggung beban biaya subsidi BBM dan LPG sejak April 2017.
Menurut Emma Sri Martini, akumulasi tanggungan Pertamina dari kebijakan tersebut adalah Rp96,5 triliun kompensasi dan Rp13 triliun subsidi, total Rp 109,5 triliun. Karena utang pemerintah Rp109,5 triliun baru dibayar Rp45 triliun pada 2020, Pertamina harus menerbitkan surat utang.
Pertamina menerbitkan bond USD 750 juta (2018), USD 1,5 miliar (2019) dan USD 3 miliar (2020), pada tingkat bunga yang berbeda-beda antara 3,65 persen hingga 6,5 persen
Total tambahan surat utang Pertamina 2018 hingga 2020 adalah USD 5,25 miliar. Artinya, dihitung sejak penerbitan surat utang 2018 dan tingkat kupon masing-masing, maka beban bunga (cost of money) yang ditanggung Pertamina akibat kebijakan populis Pilpres 2019 sebesar USD 210 juta atau sekitar Rp 3 triliun.