Di sisi lain, untuk pajak perdagangan internasional terkontraksi 8,4 persen yaitu realisasinya adalah Rp20,6 triliun yang merupakan 61,6 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp33,5 triliun. Selanjutnya, untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yaitu sebesar Rp208,8 triliun yang terkontraksi hingga 13,5 persen (yoy) dan telah mencapai 71 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp294,1 triliun.
”Tak hanya itu, pendapatan negara juga berasal dari realisasi penerimaan hibah Rp2,5 triliun yang telah mencapai 189,2 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp1,3 triliun dan tumbuh 561,6 persen (yoy) dari periode sama tahun sebelumnya Rp0,4 triliun,” terangnya.
Wanita kelahiran Bandarlampung, 26 Agustus 1962 itu menyebut defisit 31,8 persen terhadap pagu APBN dalam Perpres 72/2020 yang sebesar Rp1.039,2 triliun triliun atau 6,34 persen terhadap PDB. ”Data (Defisit) ini menggambarkan penerimaan mengalami tekanan sedangkan belanja naik akibat Covid-19,” katanya.
Di sisi lain, realisasi belanja negara hingga Juli tahun ini tumbuh 1,3 persen (yoy) yaitu sebesar Rp1.252,4 triliun dari Rp1.236,3 triliun pada periode sama tahun lalu. Sri Mulyani menyebut realisasi Rp1.252,4 triliun tersebut merupakan 45,7 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 yaitu Rp2.739,2 triliun.
Pertumbuhan belanja negara ditunjang oleh belanja pemerintah pusat sebesar Rp793,6 triliun yang tumbuh 4,2 persen dari periode sama 2019 yakni Rp761,3 triliun dan 40,2 persen dari target perubahan APBN dalam Perpres 72/2020 Rp1.975,2 triliun.
Realisasi belanja pemerintah pusat yang tumbuh 4,2 persen itu didorong oleh belanja bantuan sosial Rp117 triliun atau 68,6 persen dari target dalam Perpres 72/2020 Rp170,7 triliun dan mampu tumbuh hingga 55,9 persen
”Oleh karena itu dampaknya terhadap defisit APBN sangat besar yaitu di dalam perpres sampai akhir tahun estimasi sebesar 6,34 persen dari PDB dan sampai akhir Juli defisit adalah 2 persen,” paparnya.
Menanggapi hal ini, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman mengatakan pertumbuhan ekonomi pada 2021 yang diperkirakan pada kisaran 4,5-5,5 persen bergantung perbaikan kinerja pada 2020.
”Ya kalau perkiraan 4,5-5,5 persen itu dengan harapan ada pemulihan, tapi kalau landasan perbaikan ekonomi pada 2020 tidak kuat, maka kita tidak berharap target 2021 dapat tercapai,” kata Rizal.
Rizal memastikan upaya pembenahan ekonomi pada 2021 membutuhkan optimalisasi maupun efektivitas kebijakan fiskal yang dibarengi dengan kebijakan moneter agar kinerja perekonomian bisa berdaya tahan dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19.
Salah satu optimalisasi kebijakan fiskal yang harus diupayakan melalui mempercepat realisasi belanja penanganan kesehatan maupun program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang masih rendah.
Padahal, belanja tersebut dapat bermanfaat untuk mengatasi persoalan kesehatan serta menjaga daya beli masyarakat, dan membantu penguatan konsumsi rumah tangga maupun investasi, yang merupakan sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
”Ya, kita memang optimis terjadi perbaikan, apabila realisasi stimulus fiskal makin efektif, tidak melambat dan tepat sasaran, terutama untuk perlindungan sosial, sektoral, pemda, UMKM, insentif usaha dan tentunya kesehatan,” pungkasnya. (fin/zul/ful)