Obat herbal COVID-19 memasuki tahap akhir atau final. Obat herbal tersebut kini dalam tahap akhir uji klinis.
Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), Inggrid Tania mengatakan saat ini tim peneliti bersama pakar kesehatan berada dalam tahap akhir uji klinis manfaat obat herbal untuk COVID-19.
"Ya uji klinik herbal imunomodulator di Wisma Atlet yang kami (PDPOTJI) lakukan bersama LIPI, UGM, Kalbe Farma, Balitbangkes bersama tim di Wisma Atlet saat ini sedang masa di tahap akhir ya karena sudah direkrut 90 subjek," ungkapnya dalam keterangannya, Kamis (6/8) malam.
Dikatakannya, pihaknya dan tim masih menunggu hasil intervensi dengan produk uji selama sekitar 28 hari. Waktu tersebut dibutuhkan untuk sampai pada tahap analisa data. Pada akhirnya nanti akan disimpulkan dua produk uji herbal imunomodulator yang diteliti tersebut bisa berhasiat secara signifikan dibandingkan plasebo.
Dia pun berharap hasil uji klinis bisa memberikan bukti positif, salah satunya obat herbal bisa bermanfaat terhadap COVID-19, sebagai terapi komplementer atau melengkapi pengobatan standar.
"Semoga nanti hasilnya menunjukkan bukti-bukti bahwa penambahan obat herbal untuk COVID-19 bisa lebih memberikan efek yang lebih bagus dibandingkan pemakaian obat standar saja. Jadi kombinasinya dengan antara herbal dengan obat standar semoga menghasilkan pengobatan yang lebih baik," ungkapnya.
Dijelaskannya, obat herbal atau jejamuan tidak menutup kemungkinan bisa membantu meningkatkan imunitas tubuh bisa diklaim sebagai antivirus, misalnya untuk SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.
Karenanya, untuk sampai pada klaim ini, perlu penelitian lebih lanjut mengenai hal ini mulai dari uji in-vitro, praklinis hingga uji klinis pada strain COVID-19 secara langsung.
"Jadi jamu menguatkan sistem imun, tapi tidak menutup kemungkinan kalau nanti diteliti lebih lanjut misalnya jamu atau herbal tersebut bisa menghasilkan klaim sebagai antivirus SARS-CoV-2. Tetapi harus diteliti spesifik dari uji in-vitro, praklinis hingga uji klinis terhadap strain COVID-19 langsung," kata Tania.
Terkait herbal buatan Hadi Pranoto, Tania menilai ini berlebihan. Menurut dia, produk milik Hadi didaftarkan ke BPOM sebagai jamu dengan klaim memelihara kesehatan, menjaga daya tahan tubuh.
"Harusnya dia patuh dengan klain yang sudah disetujui BPOM, tidak membuat klaim secara berlebihan produknya ini bisa mencegah atau mengobati COVID-19, karena sebenarnya kan belum diuji klinis," katanya.
Tania mempertanyakan pengakuan produk Hadi sudah diteliti, hingga testimoni dari orang-orang yang sudah mencoba produknya. Hadi seharusnya membuktikan penelitiannya apakah sudah disetujui Komite Etik Penelitian Kesehatan, BPOM hingga Kemenristek.
Testimoni harus diverifikasi sehingga bisa dipertanggungjawabkan dan tidak ada rekayasa.
"Pembuktikan apakah memang sembuh karena produk dia. Bisa saja sembuhnya karena orang tersebut juga mengonsumsi herbal lain, atau kalau COVID-19 nya ringan dia bisa sembuh sendiri juga tanpa bantuan atau konsumsi produknya dia," tuturnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny Lukito menegaskan hingga kini BPOM tidak pernah memberikan persetujuan klaim khasiat obat dari Hadi Pranoto dapat menyembuhkan pasien COVID-19.