Vonis Ringan Dua Penyiram Novel Dinilai untuk Lindungi Anggota Polri Supaya Tak Dipecat

Sabtu 18-07-2020,11:20 WIB

Vonis ringan terhadap dua penyerang penyidik senior KPK Novel Baswedan dinilai sebagai upaya melindungi anggota Polri, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. Dengan vonis tersebut keduanya tidak dipecat dari Polri.

"Mengapa putusan harus ringan, agar terdakwa tidak dipecat dari Kepolisian dan menjadi 'whistle blower' atau 'justice collaborator'," kata anggota tim advokasi Novel Baswedan, Muhammad Isnur dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Jumat (17/7) kemari.

Rahmat Kadir dan Ronny Bugis divonis Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yaitu 2 tahun dan 1,5 tahun penjara. Keduanya terbukti melakukan penganiayaan yang menyebabkan luka berat terhadap Novel Baswedan. Keduanya terbukti berdasarkan dakwaan subsider pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Sejak awal skenario sempurna sudah selesai ketika dakwaan sampai ke tangan hakim. Skenario ini adalah tuntutan yang ringan untuk mengunci putusan hakim. Nyaris tidak ada putusan yang dijatuhkan terlalu jauh dari tuntutan, kalaupun lebih tinggi daripada tuntutan," katanya lagi.

Dia pun menegaskan, skenario menjadi sempurna dengan sikap kedua terdakwa yang menerima vonis, meski putusan lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum.

"Mengapa tuntutan harus ringan terkait keyakinan kami bahwa barang dan alat bukti yang dihadirkan di persidangan tidak memiliki keterkaitan serta kesesuaian dengan para terdakwa dengan demikian putusan majelis hakim harus dikatakan bertentangan dengan Pasal 183 KUHAP yang mengamanatkan bahwa hakim harus memiliki keyakinan dengan didasarkan dua alat bukti sebelum menjatuhkan sebuah putusan," ungkap Isnur.

Dikatakan Isnur, pihaknya sejak awal persidangan sudah curiga proses peradilan hanya untuk menguntungkan para terdakwa. Kesimpulan itu bisa diambil dari dakwaan, proses unjuk bukti, tuntutan Jaksa, dan putusan yang memang menafikan fakta-fakta sebenarnya.

"Dengan dijatuhkannya putusan hakim ini pihak yang paling diuntungkan adalah instansi Kepolisian sebab dua terdakwa yang notabene berasal dari anggota Kepolisian tidak mungkin dipecat dan pendampingan hukum oleh Divisi Hukum Polri pun berhasil dijalankan," tambah Isnur.

Dengan tidak mengungkap kejahatan politik sampai ke akarnya, menurut Isnur hanyalah perulangan terhadap kasus-kasus serangan terhadap aktivis anti korupsi dan aktivis-aktivis lainnya.

"Proses persidangan ini juga menunjukkan bahwa potret penegakan hukum di Indonesia tidak pernah berpihak pada korban kejahatan. Terlebih lagi korban kejahatan dalam perkara ini adalah penegak hukum," terangnya.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyesalkan vonis rendahnya terhadap dua penyerang Novel. Vonis tersebut tidak menunjukan rasa keadilan.

“Meski sedikit lebih tinggi dari tuntutan, vonis tersebut tetap gagal meyakinkan masyarakat bahwa negara benar-benar menegakkan keadilan untuk korban," katanya.

"Dari awal, kami melihat banyak kejanggalan selama proses penyelidikan hingga persidangan. Semua seperti sengaja direkayasa. Seperti sandiwara, dengan mutu yang rendah," sambung dia.

Dikatakannya, kejanggalan sudah terlihat sejak proses hukum di kepolisian yang lamban, tertutup, dan terkesan main-main. Komnas HAM pun menemukan terjadinya abuse of process yang mengarah pada upaya menutupi kasus ini.

Ironinya, penyidikan baru yang dilakukan tim gabungan yang merujuk saran Komnas HAM juga sama buruknya. Unsur-unsur non-polisi kehilangan objektivitas karena kedekatan mereka dengan pimpinan polisi.

Tags :
Kategori :

Terkait