Secara teknis kertas seperti itu banyak mengandung kesulitan. Belum ada harian di Indonesia yang berani menggunakan jenis kertas ini. Misalnya ketika halaman depan Harian DI's Way dibuat seperti itu. Blok warna hitamnya itu pekat dan dominan. Ternyata itu sangat menyulitkan untuk jenis kertas istimewa ini. Terlalu banyak tinta di halaman itu. Akibatnya sering lengket di peralatan mesin cetak.
Apalagi memang baru sekali ini mesin cetak yang sebenarnya modern itu mendapat ''jenis makanan'' Eropa seperti ini. Masih belum terbiasa. Sedikit mules-mules.
Tapi kami tidak menyerah: Akan terus menggunakan kertas yang tidak lazim ini - -untuk harian. Agar sesuai dengan kredo 'ini bukan koran'. Bukan hanya itu. Juga ada alasan jangka panjangnya.
Kami yakin dalam satu-dua minggu percetakan sudah akan bisa mengatasinya. Ini memang seperti perawan. Harus dibiasakan dulu.
Penyebab lainnya: Semua penata halaman memang pemula. Anak-anak sangat muda. Belum pernah ada yang bekerja di koran. Bahkan tidak ada yang pernah berlangganan koran.
Tapi itu bukan alasan. Mereka bisa belajar dengan cepat. Tidak lama lagi mereka bisa mengatasi 'semua masalah baru'. Mereka pembelajar yang cepat.
Demikian juga wartawan-wartawan kami. Serba baru. Hanya pengendali di redaksi yang sudah sangat berpengalaman di media cetak. Lihatlah daftar nama mereka di halaman 9 itu.
Hemmm...
Telat tapi terbit. Terbit tapi telat. Untung kami ini Harian DI's Way. Bukan, misalnya, hehe, Harian pagi DI's Way...
Kami memang harus tetap bisa bercanda. Di tengah stres tertinggi sekali pun. Pun di tengah malam menjelang pagi seperti ini.
Bahkan sambil duduk di tumpukan kertas sekali pun, saya bisa menulis artikel ini. Sambil menunggu Harian DI's Way dicetak. Azan subuh pun terdengar. Masih lama lagi cetakan ini selesai.
Saya sudah mengira akan ada kejadian seperti ini. Pun kalau persiapannya lebih matang. Karena itu saya membawa obat ke percetakan. Yang harus di minum jam 4 pagi. Tapi saya tidak bisa membawa sarapan. Pukul 4.30 saya minta isteri mengirimkan madu, telur rebus, dan jus jambu biji.
Saya pun menuju mobil yang parkir di pinggir jalan - -di luar percetakan. Saya sempatkan sarapan empat menu itu di dalam mobil. Itulah menu rutin sarapan saya selama Covid-19: madu, telur rebus dua biji, jus jambu biji, dan pisang. Setiap hari.
Usai sarapan kembali melihat orang bekerja. Yang juga sepanjang malam qiyamul-lail.
"Besok tidak boleh telat lagi," itulah tekad semua orang di redaksi. Juga di penata halaman.
Mereka yakin separo 'kesalahan-kesalahan-pertama' tidak akan terjadi lagi. Berarti, kata saya, masih ada separo 'kesalahan-kesalahan pertama ditambah sisa-sisa kesalahan kedua'.