Oleh: Dahlan Iskan
"SAYA beralih pendekatan ke komunitas".
Yang mengucapkan itu Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya.
Itulah cara barunyi. Untuk menahan ledakan Covid-19 di Surabaya. Yang kapan itu sudah sempat dinyatakan sebagai zona merah --agak hitam.
"Berhasil," kata Risma. "Angkanya turun lagi," katanyi.
Yang dimaksud pendekatan komunitas itu adalah pembentukan kampung tangguh. Berbasis RT dan RW. Merekalah yang lebih harus menjaga diri.
Ada juga pasar tangguh. Dan seterusnya.
Rapid test akan lebih difokuskan ke kampung-kampung tangguh itu. Tentu berdasar permintaan dari bawah.
Ternyata itu juga terjadi di kampung-kampung di daerah lain. Banyak orang kota yang tidak bisa pulang ke desa --karena desanya, untuk sementara, menolak kedatangan mereka.
Tentu Risma sangat benar. Penularan terbanyak adalah di komunitas-komunitas. Bahkan masuknya Covid-19 pertama ke Indonesia, Anda masih ingat, juga terjadi di situ: komunitas dansa.
Pun heboh Covid-19 di Semarang. Terjadinya di komunitas karaoke dan arisan orang kaya. Demikian juga komunitas agama. Baik Islam maupun Kristen.
Saya juga punya komunitas senam dansa. Berarti juga harus ekstra hati-hati.
Komunitas pasar termasuk yang paling berat. Itulah sebabnya di Padang tes untuk pedagang di Pasar Raya diprioritaskan.
Bukan sekedar rapid test tapi tes swab. Pun biayanya bisa lebih murah dari tes cepat. Itu karena ada metode baru sistem 5-1 seperti yang ditemukan dokter Andani di sana. (DI’s Way: Nangis Tes).
Sudah banyak berita penutupan pasar di Indonesia. Di Jakarta maupun Surabaya. Itu setelah ditemukan penularan Covid-19 di pasar.