Bambang Margiono

Bambang Margiono

Oleh: Dahlan Iskan

OMICRON tidak bisa dibendung lagi: dari hanya 200 kasus perhari sudah menjadi 7.000. Beberapa bulan terakhir kita begitu nyaman dengan angka Covid Indonesia. Termasuk golongan yang terendah di dunia.

Aktivitas masyarakat sudah nyaris pulih. Jakarta mulai macet. Surabaya juga. Jalan-jalan menuju tempat wisata padat.

Saya pun sudah ke mana-mana. Sudah semakin sering di Jakarta. Ke Bogor, Cirebon, Tegal, Bali, Lombok, dan Sumbawa. Juga sudah ke kelenteng-kelenteng luar kota menjelang Imlek ini. Sudah mengadakan pemilihan Koko-Cici Jatim 2021.

Saya jadi ingat warning dari Menkes Budi Gunadi Sadikin awal Januari lalu: kita bisa mencapai 60.000 kasus di bulan Juli nanti. Kalau tidak waspada. Pernyataan itu baik sekali. Secara psikologi kita menjadi siap dengan keadaan itu. Juga tetap hati-hati.

Maka ketika kasus per hari menjadi 7.000-an tidak ada lagi yang kaget.

Teman saya meninggal dunia minggu lalu. Sudah lama saya tidak bertemu. Ia wartawan olahraga yang baik: Bik (Bambang Indra Kusumawanto). Rendah hati. Murah senyum. Jarang bicara.

Teman satu lagi kini sedang di ICU rumah sakit Pertamina. Anda sudah tahu namanya: Margiono. Ia Dirut Harian Rakyat Merdeka. Ia juga dua periode menjabat Ketua Umum PWI Pusat.

Dua-duanya sama: baru ketahuan positif Covid ketika ingin berobat untuk sakit lainnya. Bambang Indra memang pernah stroke. Tahun 2017. Ia punya penyakit darah tinggi. Setelah tidak di Jawa Pos, ia ke Amerika. Enam tahun. Sepulang ke tanah air, ia menjadi staf di DPR. Lalu jadi humas di Kemenpora. Lalu stroke itu.

Ia juga mengidap sakit gula. Sampai harus cuci darah. Satu kali seminggu. Jumat lalu itu waktunya cuci darah. Tengah hari ia diantar anak sulung ke RS. Sudah biasa. Perlu 4-5 jam baru selesai. Karena itu tidak perlu ditunggu. Pada sorenya ganti anak bungsu yang akan menjemput.

Saat dijemput itulah Bambang masih tertidur. Tidak bisa dibangunkan. Tekanan darahnya rendah sekali. Si bungsu lapor petugas: Bambang ternyata tidak lagi tertidur. Ia pingsan. Ia harus masuk ICU.

Prosedur masuk ICU harus dipenuhi. Termasuk harus diperiksa lain-lain: ketahuan lah positif Covid. Keluarga bingung. Semua anggota keluarga memeriksakan diri: negatif. Bambang juga tidak pernah ke luar rumah. Sang istri terus menemani. Dia menjaga suami cukup ketat: istri sadar suami punya komorbid yang berat.

"Kami semua bingung, di mana tertular Covid," ujar Eni, sang istri.
Bambang hanya satu malam di ICU. Ia meninggal dunia. Harus dimakamkan dengan prosedur Covid.

Teman-temannya tidak bisa mengantarkan ke makam.

Sumber: