Tahun Komitmen

Tahun Komitmen

Coba, hobi macam mana itu.

Itu sama sekali bukan hobi.

Itu siksa.

Siksa dunia.

Semoga mengurangi siksa kubur.

Tapi mengapa saya melakukan itu –memaksakan diri menulis setiap hari?

Saya teringat ayah. Almarhum.

Hari itu keluarga kami seperti mau kiamat. Kakak sulung saya –satu-satunya yang punya penghasilan tetap sebagai guru madrasah– harus pergi ke Kalimamtan: Samarinda.

Ibu sudah lama meninggal. Sawah sejengkal sudah terjual. Meja, kursi, dipan, lemari sudah jadi nasi. Tikar mendong sudah bolong-bolong.

Kakak harus pergi. Tak terkirakan jauhnya –untuk ukuran saat itu.

Ayah tahu: anak wanitanya itu harus pergi. Saya tidak tahu –kecuali setelah dewasa: saat itu kakak lagi patah hati yang sangat berat. Calon suami pilihannyi dilarang menikahinya: masih sepupu. Dia memilih pergi –dengan tekad tidak akan pernah kembali. Dia tinggalkan gajinya untuk kami –lewat surat kuasa untuk mengambil gaji. Dia sudah siap menderita di rantau –daripada hancur di kampungnya.

Pada jam keberangkatannya seluruh keluarga, tetangga, kerabat berkumpul di halaman. Mereka menangis-nangis. Terutama ketika sado yang menjemputnya tiba. Untuk membawanya ke kota –dari Kota Madiun akan naik kereta api ke Surabaya, lalu naik kapal laut ke Samarinda. Pak kusir membantu kakak saya menaiki sadonya.

Berangkat.

Tidak ada lagi bunya sepatu kuda. Tidak ada suara apa-apa. Sedu dan sedan sudah lama mengeringkan air mata.

Sado pergi.

Sumber: