Muktamar Minoritas

Muktamar Minoritas

Keterlibatan NU di politik memang sudah terlalu dalam. Bahkan politik itulah yang berjasa membuat NU meluas ke seluruh Indonesia.

Awalnya, NU itu benar-benar organisasi ulama. Namanya saja Nahdlatul Ulama —kebangkitan ulama.

Ketika di tahun 1950-an berubah menjadi partai NU, diperlukan banyak sekali suara. Maka siapa saja bisa menjadi anggota NU —tentu yang cocok dengan garis perjuangan NU. Diperlukan juga cabang dan ranting di seluruh Indonesia. Bahkan diperlukan pula tokoh luar Jawa sebagai ketua umum. Jadilah Idham Khalid, orang dari pedalaman Kalsel, sebagai ketua umum —terlama dalam sejarah NU.

Dengan latar belakang seperti itu maka program kembali ke khitah akan memakan energi Gus Yahya yang sangat besar.

Yang bagi Gus Yahya ringan adalah perjuangan moderatisasi beragama. Pendahulunya sudah meratakan jalan ke sana. Gus Yahya ingin mengglobalkannya.

Selama ini suara moderat itu masih lebih bergaung hanya di dalam negeri. Itu yang akan dikembangkan ke dunia internasional. Dengan demikian, ke depan, suara Islam di dunia tidak hanya didominasi dari suara Islam Timur Tengah.

Intinya, Muktamar NU yang awalnya terasa panas, ternyata bisa jadi percontohan berdemokrasi yang baik. Tidak ada calon tunggal. Yang menang langsung mencium tangan yang kalah secara takzim. Yang menang memuji yang kalah. Yang kalah mendukung yang menang.

Tidak sampai ada keributan di Muktamar. Justru banyak kejadian yang mengundang tawa. Misalnya: di ruang sidang pleno itu tiba-tiba ada pengumuman soal sandal. "Mohon perhatian, waktu salat subuh tadi ada yang meninggalkan masjid lebih dulu dengan pasangan sandal yang salah. Mohon dikembalikan."

Ada juga yang mengedarkan foto tulisan di aula sidang itu: DILARANG MEROKOK. Tulisan itu terlihat kecil di kejauhan sana. Maka perlu diberi tanda panah sehingga yang melihat foto tersebut langsung bisa membaca larangan itu.

Yang lucu adalah komentar di bawah foto itu: Muktamar NU ini sudah terpengaruh Muhammadiyah. "Sudah pakai dilarang merokok segala," tulisnya.

Masih ada lagi yang bikin peserta Muktamar gerrrrr. Yakni ketika dibacakan nama salah satu ketua cabang NU yang punya hak suara. Nama ketua cabang dari NTT itu ternyata Ahmad Golkar. Atau sejenis itu. "Ternyata Golkar punya hak suara di Muktamar NU," gurau mereka.

Tentu tidak hanya pesohor Nikita Mirzani yang punya harapan tertentu pada Muktamar NU ini. Lewat video yang beredar luas.

Tentu saya juga punya harapan tersendiri: agar Prof Dr H Mohammad Nuh DEA bisa duduk di pengurus pusat NU. Khususnya di bidang pendidikan. Bukan saja beliau sukses memimpin sidang-sidang pleno di Muktamar kemarin, juga karena beliau punya konsep untuk kemajuan pendidikan.

Beliau juga mantan Mendiknas dan rektor ITS yang sangat berprestasi. Kelemahannya: beliau belum dipanggil kiai. Dan lagi beliau masih sering lupa memakai songkok dan sarung.

Tentu, untuk ikut membangun bangsa NU tidak hanya perlu punya banyak sekolah dan universitas. NU juga harus memikirkan kualitas lulusannya. Terutama untuk memenuhi kebutuhan bangsa di bidang ekonomi, kesehatan, dan teknologi —yang masih jadi prodi minoritas di lembaga pendidikan NU.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: