Truk 110 Tahun

Truk 110 Tahun

Oleh: Dahlan Iskan

"SAYA bukan pembunuh..." ujar terdakwa lirih. Ia berharap agar tidak dihukum berat.

Di persidangan itu ia terus menyesali diri, merasa bersalah dan kenapa tidak dirinya saja yang mati.

Senin pekan lalu ia dijatuhi hukuman 110 tahun penjara.

Itulah hukuman terberat untuk kecelakaan terbesar –setidaknya salah satunya.

Mengikuti cerita ini, saya teringat jalan tol pegunungan antara Boyolali-Semarang. Di kanan kiri jalan terlihat dibangun jalan darurat. Di beberapa tempat. Terutama di jalan tol yang lagi menurun tajam.

Jalan darurat itu berupa jalan pendek yang menanjak tajam. Yang di ujung jalan itu ada barikade. Setiap kendaraan yang masuk ke jalan menanjak itu pasti akan melambat dan akhirnya berhenti menabrak barikade tersebut.

Suatu kali, ketika mengemudi di jalur itu, teman di samping saya bertanya: jalan apa itu?

Ia anak muda. Lulusan Boston, Amerika. Ia lebih banyak hidup di kota. Ia tidak pernah berkendara di daerah-daerah pegunungan di Amerika.

Saya pun menjelaskan padanya: itulah jalan penyelamat. Kalau rem Anda blong, Anda harus mengarahkan kendaraan masuk ke jalan darurat itu. Agar tidak menabrak kendaraan lain.

Dalam posisi jalan tol menurun kendaraan yang remnya blong akan melaju kian kencang. Apalagi kalau kendaraannya berat.

Saya pernah mengalami yang seperti itu. Yakni saat mengendarai Tucuxi –mobil listrik pertama saya itu– menuruni lereng Gunung Lawu sebelah timur. Remnya blong. Tucuxi kian laju. Tidak ada jalan darurat seperti di jalur Boyolali-Semarang. Saya pun melihat banyak orang di depan sana. Maka saya putuskan mendadak: membanting setir Tucuxi. Saya tabrakan mobil itu ke tebing berbatu. Biarlah saya sendiri yang celaka. Jangan orang banyak itu.

Kisah selebihnya Anda sudah tahu.

Hukuman 110 tahun penjara pekan lalu itu dijatuhkan akibat sopirnya mengabaikan jalan darurat seperti itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: