Rumah Merah

Rumah Merah

Siapa saja boleh masuk ke rumah besar tersebut. Rumah turis. Yang dulunya pastilah rumah golongan orang terkaya di Lasem. Besar sekali.

Istri saya tertarik ke yang lain: ke pembatikan. Dia memang belum punya koleksi batik Lasem. Juga, baru tahu bahwa batik Lasem itu terkenal. Di kampungnyi, Kaltim, hanya pernah mendengar batik itu harus Solo dan Yogyakarta.

Beda dengan suaminyi. Sejak kecil saya sudah tahu: batik Lasem itu istimewa. Waktu disunat, saya dibelikan sarung baru: sarung batik Lasem. Sarung bekas yang diperbarui. Sarung lama yang dibatik ulang. Ibu sendiri yang membatik ulang. Menjadi seperti baru.

Batik Lasem juga dikenal sebagai batik pesisir utara. Coraknya lebih egaliter, lebih bebas, dan lebih berwarna.

Cita rasa warna Tionghoa banyak berpengaruh ke batik Lasem. Beda dengan batik Solo yang klasik, feodal, dan ningrat.

Saya celingukan di dalam rumah besar itu. Tidak tahu harus bertanya apa kepada siapa. Tiba-tiba suara keras memanggil nama saya. Dari arah belakang. Saya amati siapa yang datang tergopoh-gopoh itu. Sepertinya saya kenal: lupa namanya.

”Saya Rudy Hartono. Masak Pak Dahlan lupa,” katanya.

Awalnya saya lupa. Sudah begitu lama tidak bersua. ”Oh, saya ingat. Anda pengurus barongsai kan? Kok ada di sini?” jawab saya.

”Ini rumah saya, Pak. Rumah Merah ini sekarang saya yang punya,” katanya. Wow.

”Anda orang Lasem?” tanya saya.

”Ya. Saya lahir di Lasem. Di rumah itu,” jawabnya sambil menunjuk rumah lain. Yang bagian depannya dijadikan toko mebel dan handphone.

Rumah lain itu menghadap ke Jalan Jatirogo. Di arah seberang sate. Pantat rumah lain itu beradu dengan pantat Rumah Merah. Jadilah rumah itu sambung-menyambung: satu pemilik, Rudy Hartono.

Tidak hanya dua rumah itu yang tersambung. Rumah Merah yang di sebelah kanan Rumah Merah juga ia beli. Pun Rumah Merah satunya lagi. Yang di kanannya lagi.

”Jadi, Anda membeli tiga rumah besar berjajar ini?” tanya saya.

”Belinya bertahap. Saya kan bukan orang kaya,” katanya.

Sumber: