Pemerintah dan DPR Jangan Arogan, Batalkan Semua Peraturan Turunan UU Cipta Kerja

Pemerintah dan DPR Jangan Arogan, Batalkan Semua Peraturan Turunan UU Cipta Kerja

Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) mendesak Pemerintah untuk tidak memaksakan kehendak, utamanya terkait berbagai peraturan turunan dari UU Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang telah diterbitkan Pemerintah.

Ini menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Gugatan Pembatalan UU Ciptaker yang telah dibacakan Hakim MK dalam sidang, Kamis (25/11) lalu. Demikian disampaikan oleh Presiden ASPEK Indonesia, Mirah Sumirat di Jakarta, Jumat (26/11).

Mirah Sumirat mendalilkan tuntutannya berdasarkan pada butir 7 Amar Putusan MK, yang lengkapnya tertulis; "(7) Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja."

Mirah Sumirat menegaskan bahwa Putusan dan perintah Mahkamah Konstitusi kepada para pembuat undang-undang, dalam hal ini Pemerintah dan DPR, sudah sangat jelas, yaitu;
1. Untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.
2. Tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Artinya, terkait dengan keberadaan Peraturan Pemerintah yang telah terlanjur diterbitkan dan berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, harus dibatalkan. Apalagi Peraturan Pemerintah tersebut bersifat strategis dan berdampak luas bagi kehidupan pekerja pada khususnya dan masyarakat pada umumnya," tegas Mirah Sumirat.

ASPEK Indonesia pun mendesak Pemerintah untuk membatalkan 4 Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, yaitu:

1. PP No.34 Tahun 2021 tentang Tenaga Kerja Asing (PP TKA);
2. PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK);
3. PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan; dan
4. PP No.37 Tahun 2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (PP JKP).

"Keempat Peraturan Pemerintah tersebut telah berdampak langsung pada hilangnya jaminan kepastian pekerjaan, jaminan upah dan jaminan sosial, yang sebelum adanya UU Cipta Kerja, telah diatur dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan," tegasnya.

Menurut Mirah Sumirat, pasal-pasal yang terdapat dalam UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah turunannya, yang mempermudah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah bersifat strategis dan berdampak luas meskipun PHK itu kasus individu.

Hal ini karena kemudahan PHK akan berdampak pada peningkatan angka pengangguran, melemahnya daya beli, menurunnya angka konsumsi rumah tangga yang berujung pada penurunan perputaran ekonomi nasional dan mempengaruhi angka pertumbuhan ekonomi nasional.

"Upah minimum juga termasuk kebijakan strategis dan berdampak luas karena mayoritas pekerja formal adalah pekerja penerima upah minimum," tututrnya.

Terakhir, Mirah Sumirat juga mengingatkan Pemerintah untuk lebih berpihak kepada rakyat, apalagi setelah Hakim MK juga telah menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

"Ini membuktikan bahwa Pemerintah dan DPR telah bertindak ceroboh dalam proses pembentukan Omnibus Law UU Cipta Kerja, pungkas Mirah Sumirat," pungkasnya. (git/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: