Piket Nol

Piket Nol

Oleh: Dahlan Iskan

LAMA-lama saya hanyut juga: ikut rombongan —!!!— Durian Travellers, DT. Rutenya: Malang-Senduro di Lumajang.

Di Malang, Anda sudah tahu: wajib ke kebun duriannya Mas Yanto (Baca Disway: Durian Pentil). Yang di dekat Gunung Kawi itu.

Ampun. Rakus semua. Makan durian seperti makan singkong saja. Termasuk ketika makan yang kelas Musangking. Saya pun harus mengajari mereka di bawah pohon yang penuh buah berduri itu: makan durian itu harus seperti makan es krim. Dicucup lembut, halus, sedikit sedikit, dengan bibir dan lidah, sambil mata agak terpejam.

Saya praktikkan di depan mereka bagaimana menikmati durian. Saya ambil yang Musangking. Saya peragakan cara itu dengan makan durian beneran.

Sangat pelan dan lembut. Lalu satu lagi. Juga pelan. Masih satu lagi. Dan lagi. Dan lagi.

Tidak boleh disosor secara kasar.

Gila semua.

Setelah pelajaran pendek tersebut, mulailah dibelah durian ke dua: habis dalam sekejap. Pun yang ketiga dan seterusnya. Anak-anak muda memang tidak bisa diajak main halus.

Yang kumpul hari itu, Senin lalu, termasuk yang datang dari Samarinda, Makassar, Palembang, Banyumas, Tegal dan Bandung. Masing-masing bercerita tentang kelebihan durian di kampung mereka.

Saya pun bertanya: adakah di tempat kalian orang seperti Mas Yanto. Yang berani membuang pentil-pentil durian yang begitu banyak. Kok tidak dibiarkan saja pentil itu jadi buah durian yang besar.

"Tidak ada," jawab mereka bergantian. Umumnya, pemilik pohon durian merasa sayang pentil yang begitu banyak dirontokkan.

"Ada!" ujar Pak Akhiong yang juga punya kebun durian.

Pak Akhiong bukan anggota DT. Ia tidak ikut hadir di Malang.

Sumber: