Pengetatan Remisi Koruptor Dicabut, Pemberantasan Korupsi Kekinian di Titik Paling Bawah

Pengetatan Remisi Koruptor Dicabut, Pemberantasan Korupsi Kekinian di Titik Paling Bawah

Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, dan Bung Hatta Anti-Corruption Awards (BHACA) menyebut pemberantasan korupsi kekinian tengah berada di titik nadir. Lembaga kehakiman disebut tak lagi mendukung upaya pemberantasan korupsi.

Hal ini lantaran regulasi yang dianggap pro-pemberantasan korupsi seperti PP Nomor 99 Tahun 2012 dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Padahal, PP tersebut mengatur soal pengetatan pemberian remisi terhadap narapidana kasus korupsi, terorisme, dan narkotika sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.

"Dari sini, masyarakat dapat melihat bahwa lembaga kekuasaan kehakiman tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Pada masa mendatang, akibat putusan MA ini, narapidana korupsi akan semakin mudah untuk mendapatkan pengurangan hukuman," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Sabtu (30/10).

Ketiga lembaga pemantau pemberantasan korupsi itu menyampaikan tiga poin untuk menyikapi pertimbangan MA dalam menjatuhkan putusan pembatalan PP 99/2012.

Pertama, MA inkonsisten terhadap putusannya sendiri. Pasalnya, MA sebelumnya secara tegas menyatakan bahwa perbedaan syarat pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis kejahatan, sifat bahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana. Hal itu diputuskan melalui putusan nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015, MA sudah .

"Lagi pula, perbedaan syarat pemberian remisi dalam konteks pembatasan hak diperbolehkan UUD 1945. Konsep tersebut tertera dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pembatasan hak melalui undang-undang (UU). Bahkan, MA secara eksplisit dalam putusan tahun 2013 menyebutkan PP 99/2012 mencerminkan spirit extraordinary crime," kata Kurnia.

Kedua,pandangan hakim MA yang menilai pengetatan pemberian syarat remisi tidak sesuai dengan model restorative justicejuga keliru. Menurut ketiga lembaga, pemaknaan model restorative justice seharusnya adalah pemberian remisinya, bukan justru syarat pengetatan.

Secara konsep, pemberian remisi sudah menjadi hak setiap terpidana dan telah dijamin oleh UU Pemasyarakatan. Sedangkan syarat pemberian remisi yang diperketat menitikberatkan pada dettern effectbagi terpidana dengan jenis kejahatan khusus, salah satunya korupsi.

"Dengan kata lain, MA sedang berupaya menyamakan kejahatan korupsi dengan jenis kejahatan umum lainnya," ucap Kurnia.

Ketiga, MA keliru dalam melihat persoalan overcrowdeddi lembaga pemasyarakatan. Sebab, problematika terkait overcrowdedbukan pada persyaratan pemberian remisi, melainkan regulasi dalam bentuk UU, salah satunya terkait narkotika.

Berdasarkan data dari sistem database pemasyarakatan per Maret 2020, jumlah terpidana korupsi sebenarnya hanya 0,7 persen atau sebanyak 1.906 orang.

"Angka tersebut berbanding jauh dengan total keseluruhan warga binaan yang mencapai 270.445 orang. Melihat data tersebut, pertimbangan majelis hakim MA menjadi semakin tidak masuk akal," tutur Kurnia.

Menurut ketiga lembaga, adanya putusan MA ini semakin mengkhawatirkan kinerja pemberantasan korupsi. Terlebih pertimbangan-pertimbangan majelis hakim juga sejalan dengan niat buruk pemerintah untuk memperlonggar pemberian remisi kepada para koruptor.

"ICW mencatat, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, setidaknya Kementerian Hukum dan HAM telah melontarkan keinginan untuk merevisi PP [99/2012](tel:992012) sebanyak empat kali. Mulai dari tahun 2015, 2016, 2017, dan 2019 melalui Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan (RUU PAS)," jelas Kurnia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: