Palu Wahyu
Maka kian tahun harganya naik terus. “Waktu saya beli masih Rp3 miliar. Sekarang sudah ada yang menawar Rp6 miliar,” katanya.
Nama lengkap Wahyu sangat panjang: Dinar Wahyu Saptian Dyfrig. Tinggal di Pondok Indah Jakarta.
Saya amati di mana letak mahalnya jam tangan itu: saya tidak mengerti. Saya memang tidak punya jam tangan. Pernah punya. Dulu. Lama sekali. Beberapa kali. Tapi selalu pindah tangan.
Lalu saya lihat jaket yang dikenakan Wahyu: Rp50 jutaan. Merek LV. Saya lirik sepatunya. Sesapuan. Juga LV. Entah berapa harganya.
Saya tidak perlu menebak kaus hitamnya itu. Ada tulisan LV besar di kaus itu.
Hanya tas kecilnya yang bukan LV: Dior. Demikian juga kacamatanya: Dior.
Terjadilah perundingan kecil di lobi Luwansa itu: biar Wahyu saja yang mengantar saya pulang ke SCBD. Anak saya akan langsung ke Surabaya naik mobil.
aya pun menuju mobil Wahyu: Mercy terbaru dua pintu. Ia juga punya Ferrari di rumahnya.
Di mobil itu saya ngobrol cepat: siapa dia, apa latar belakangnya, jenis apa bisnisnya. Kurang dari 15 menit mobil sudah akan tiba di rumah saya. Hanya yang penting-penting saja yang harus saya tanyakan.
Sejak kelas 5 SD Wahyu sudah mulai jualan: kartu telepon. Yang dimasuk-masukkan ke dalam album itu.
Waktu SMP ia jualan MP3. Yang dilapisi karya lukisnya. Laris. Wahyu pandai menggambar.
Di SMAN 21 Surabaya, Wahyu bergabung dengan grup band. ”Ngamen” dari kafe ke lobi hotel. Ia jadi vokalis. Lagu apa saja. Yang masuk top 40.
Dari situ Wahyu punya banyak kenalan. Ia pun bisnis EO. Termasuk menyewakan sound system yang ia sewa dari orang lain. Berkembang. Ia mulai punya tabungan Rp40 juta.
Wahyu pun berani ambil proyek EO yang lebih besar: rugi Rp200 juta. “Tabungan habis, masih pula punya utang,” katanya.
Setamat SMA, Wahyu kuliah di ITS Surabaya. Di jurusan desain interior. Bakat menggambarnya ia pupuk di bangku kuliah. Sambil terus menekuni EO dan tarik suara. Dan melunasi utang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: