Tupai Chong

Tupai Chong

Kotak itu datangnya dari Bangka. Dikirim dengan pesawat Garuda. Saya lupa menghitung berapa biji. Tiap biji beda rasa, beda nama, beda agama –ups beda teksturnya.

Rupanya Akhiong begitu emosinya sampai mengumpulkan semua jenis durian Bangka terbaik. Ada yang warna dagingnya tembaga –itulah durian Tembaga. Ada yang warnanya putih sekali –durian kapas.

Yang paling dijagokan adalah yang warna dagingnya keemasan: itulah durian Tupai Chong.

"Apakah itu yang di Malaysia disebut Tupai King?" tanya saya.

Akhiong tersinggung.

Ia tidak rela Tupai Chong-nya Bangka disejajarkan dengan Tupai King-nya Malaysia. "Penggunaan kata Tupai di Malaysia itu yang justru meniru Bangka. Istilah Tupai King di Malaysia baru ada dua tahun ini. Tupai Chong sudah puluhan tahun," ujarnya.

Saya pun tidak sabar: ingin segera membuka Tupai Chong itu.

Tapi makan durian sendirian? Tidak seru. Saya harus tahan emosi. Saya membuat jadwal: habis Isya. Saya undang teman durian saya: Liong Pangkey. Yang di hatinya, di jantungnya, di darahnya hanya ada satu mimpi: durian. Ia orang Gorontalo yang sudah lama di Surabaya.

Sebenarnya saya ingin undang beberapa teman lagi. Tapi saya takut justru saya bisa tidak kebagian.

Yang jelas saya tidak undang istri saya: punya komorbid. Tidak undang dua anak saya: benci durian. Azrul Ananda pernah pingsan di dekat durian. Waktu kecil. Waktu diajak jalan di dekat tumpukan durian di Singapura.

Maka kemarin malam itu, di bawah rindang pohon-pohon mangga di halaman, di depan studio gamelan, di bawah sinar bulan yang masih bulat terang, saya membuka si Tupai Chong. Buahnya kecil –hanya lebih besar dari 10 kepala tupai disatukan

Warnanya benar: keemasan.

Lalu saya pejamkan mata untuk mencicipinya. Ganti saya yang pingsan –seolah-olah. Sambil mengisap daging durian itu, pelan-pelan, khayalan saya ke Singapura, ke Malaysia, ke Vietnam, ke Thailand, ke Hainan: semua kalah. Warnanya, rasanya, manis-pahitnya, teksturnya, serba sempurna.

Kelemahannya: tidak ada.

Ups...ada. Di seluruh Bangka pohonnya hanya ada satu. Tinggal satu itu. Milik Pak Chong. Itulah sebabnya dinamakan Tupai Chong.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: