Presiden Jokowi Diminta Awasi Tindak Tanduk Firli Bahuri Cs, Koalisi Guru Besar Sebut Masuk Kategori Pidana
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra mengatakan, sebagian besar pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disebutkan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) merupakan penyelidik dan penyidik perkara dugaan tindak pidana korupsi.
Adapun perkara yang sedang mereka tangani berkaitan langsung dengan hajat hidup masyarakat.
Mulai dari korupsi suap pengadaan bantuan sosial di Kementerian Sosial, suap ekspor benih lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan, pengadaan kartu tanda penduduk (KTP) berbasis elektronik, dan lain sebagainya.
“Tentu konsekuensi logis dari permasalahan ini akan berkaitan dengan kelanjutan penanganan perkara tersebut yang kemungkinan besar menjadi terhambat,” kata dia.
Dengan berbagai permasalahan TWK, khususnya pada dampak penanganan perkara, besar kemungkinan ada sejumlah pihak yang merancang dan memiliki keinginan untuk mengintervensi proses penindakan.
Sebab, salah satu poin dari perintah Ketua KPK Firli Bahuri terhadap pegawai yang dikategorikan TMS adalah menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasannya.
Sementara itu, sebanyak 73 guru besar di sejumlah universitas yang tergabung dalam Koalisi Guru Besar Antikorupsi menyurati Presiden Jokowi, Senin (24/5).
Para guru besar meminta kepada presiden yang akrab disapa Jokowi itu agar mengawasi tindak tanduk Firli Bahuri cs dan mengaktifkan kembali 75 pegawai KPK yang dianggap tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
Selain itu, Surat Keputusan (SK) yang diteken Firli Bahuri bisa dikategorikan pidana.
“Dalam pengamatan kami, ada banyak permasalahan yang perlu untuk dituntaskan,” jelas salah satu anggota koalisi, Guru Besar FH UGM Sigit Riyanto dalam siaran pers yang diterima.
“Mulai dari penanganan perkara yang tidak maksimal, serangkaian dugaan pelanggaran kode etik, sampai pada kekisruhan akibat kebijakan komisioner,” katanya dikutip dari JPNN.
“Hal itu mengakibatkan penurunan kepercayaan publik terhadap KPK yang cukup drastis sejak 2020,” katanya.
Menurut Sigit, sejak awal, kalangan masyarakat sipil, organisasi keagamaan, maupun akademisi telah menganalisis keabsahan TWK ini.
Setidaknya ada dua kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil analisis tersebut.
Pertama, penyelenggaraan TWK tidak berdasarkan hukum dan berpotensi melanggar etika publik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: