Paus-Ayatollah
"Kita ini bersaudara, kalau bukan saudara seiman adalah saudara sesama manusia," bunyi kalimat di spanduk itu.
Makam Sayyidina Ali ada di Najaf. Saya ke makam itu waktu ke Najaf dulu.
Dan Grand Ayatollah Sistani sendiri masih keturunan dari Sayidina Ali.
Sistani sebenarnya lahir di Mashhad, kota terbesar kedua di Iran yang amat indah. Lalu bersekolah agama di Qom –kota suci kaum Syiah, sekitar 100 km dari Tehran. Dari sini Sistani melanjutkan sekolah ke Najaf di Iraq. Sejak itu Sistani menjadi warga Iraq. Tahun 1993 Sistani menjadi Grand Ayatollah di Iraq. Ia juga masuk 100 tokoh intelektual dunia dan 50 intelektual Islam.
Selama pemerintahan otoriter Saddam Hussein, Sistani menjadi tahanan rumah. Masjidnya ditutup. Setelah Amerika menyerbu Iraq Sistani masuk tokoh pro-demokrasi. Bahkan ia menyerukan agar wanita ikut memilih. Bagi para suami yang melarang istri pergi ke TPS Sistani berkata: para wanita Syiah harus mengikuti jejak Zainab –putri Sayyidina Ali. Zainab memang ikut rombongan Hussein ke Najaf –yang kemudian menjadi saksi pembantaian di Karbala, ketika perjalanan 1.000 Km rombongan itu tinggal 70 Km saja dari Najaf.
Umat Kristen adalah kelompok yang paling menderita di Iraq. Mereka berada di tengah konflik antara Islam Syiah (65 persen) dan Islam Wahabi (30 persen).
Apalagi ketika ISIS menguasai Iraq dan Syria. Sistani sangat anti ISIS –mengeluarkan fatwa untuk memerangi ISIS.
Sistani sendiri –dalam beberapa wawancara di masa itu– mengatakan, pembunuhan terhadap umat Kristen bukan dilakukan oleh umat Islam Iraq melainkan oleh pengikut aliran Wahabi yang datang dari luar.
Dengan kalimatnya itu, Sistani seperti ingin mengesankan bahwa di Iraq tidak ada masalah antara Syiah dan Sunni. Yang membuat masalah adalah masuknya Wahabi ke Iraq.
Tanpa menyebut nama, yang dimaksud tentunya satu ini: Arab Saudi. Yakni negara yang beraliran Wahabi. Mungkin yang dimaksud Sistani adalah Arab Saudi sebelum era putra mahkota Mohamad bin Salman. Kini Arab Saudi kian menuju ke arah liberal.
Kedatangan Paus ke Iraq telah menenangkan umat Kristen. Apalagi Paus bertemu Ayatollah Sistani. Sistani seperti agak berbeda dengan umumnya Ayatollah di Iran. Sistani percaya pada demokrasi. Bahkan ia mengecam demokrasi di Iraq belum bisa diterapkan sepenuhnya.
Sikap Sistani itu menarik di kalangan Barat. Sejak lima tahun lalu beberapa lembaga di Inggris –juga kolumnis terkemuka harian New York Times mengusulkan Sistani untuk mendapat hadiah Nobel perdamaian. Demikian juga asosiasi umat Kristen di Iraq.
Pun, Paus Francis. Telah membuat sejarah penting. Beliau begitu ngotot datang ke Iraq –di tengah semua bahaya yang ada. Bahkan Paus juga ziarah ke kota Ur –sekitar 300 Km dari Najaf. Di situlah Nabi Ibrahim lahir. Ilmuwan sudah sepakat di Ur-lah Abraham lahir. Meski begitu tetap saja banyak daerah lain yang masih mengklaim Ibrahim lahir di daerah mereka.
Dari Ur, di umurnya yang 74 tahun, Abraham melakukan perjalanan suci 1.000 Km ke Syria. Lalu jalan lagi 1.000 Km ke Mesir. Terakhir jalan lagi 1.000 Km ke Kanaan –sekarang Israel– untuk menetap di situ. Itu sekitar 4.000 tahun sebelum Masehi.
Tentu, saya memonitor media Barat untuk mengikuti dan menulis kunjungan Paus yang bersejarah ini. Media Timur Tengah tidak cukup detail melaporkannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: