Mas Parno

Mas Parno

Sering juga saya tegur Mas Parno. "Kok di Sumatera masih mendalang terus. Apakah nanti tidak ada anggapan men-Jawa-kan Sumatera?“ tegur saya.

"Di sini banyak sekali orang Jawa. Mereka juga kangen wayang," jawabnya.

Mendengar jawaban itu saya pun tidak pernah menegur lagi. Yang penting urusan perusahaan beres. Hanya kadang saya kasihan pada para manajernya: harus ikut semalam suntuk menonton ia mendalang tanpa tahu jalan ceritanya.

"Lama-lama kami mengerti kok," jawab salah satu direktur di Jambi. Saya tahu itu adalah jawaban seorang manajer yang bijaksana.

Setelah lama saya tidak menegur lagi, giliran saya kena batunya. Mas Parno mengadakan rapat pimpinan di Jambi. Saya diminta harus hadir. Dan harus menginap. Tumben. Saya pun hadir.

Ternyata malam harinya ada pertunjukan wayang kulit di kota Jambi. Saya diminta harus ''mucuk-i''. Yakni memainkan wayang di awal pertunjukan sebagai tanda pagelaran dimulai.

Saya pun mengingat-ingat bagaimana saat saya mendalang amatiran sambil menggembala kambing di sawah. Yang wayangnya terbuat dari rumput –yang dibuat wayang-wayangan. Kami tidak mampu membeli wayang –pun hanya terbuat dari kertas.

Memainkan wayang dari rumput memerlukan imajinasi lebih tinggi. Misalnya: untuk membedakan tokoh Gatotkaca dengan Werkudara hanya dilihat dari besar kecilnya wayang-rumput. Dan suara percakapannya nanti. Bahkan untuk sosok raksasa tidak bisa lagi dibuat dari rumput. Kami menggunakan saja daun kluwih. Daunnya lebar dan panjang. Tangkai daunnya kuat, bisa dipegang untuk memainkannya.

Rupanya Mas Parno tahu, di balik teguran-teguran saya itu saya sendiri penggemar wayang kulit. Dulu saya punya ratusan kaset wayang kulit dengan dalang Ki Narto Sabdo.

Pernah, saya, tiap malam harus setir mobil sendirian Surabaya-Magetan. Berhari-hari. Ketika ayah saya sakit. Narto Sabdo-lah yang menemani saya sepanjang perjalanan. Pulang-pergi.

Mas Parno kemarin dimakamkan di desa kebanggaannya itu. Umurnya 62 tahun.

Saya sebut ''kebanggaan'' karena Mas Parno sering sekali bercerita tentang kampungnya itu.

Wayanglah yang membuat Mas Parno tidak stres mengurus begitu banyak perusahaan. Wayanglah yang juga membuat gaya hidup Mas Parno tetap seperti Punokawan –jauh dari penampilan seorang bos besar.

Jangankan jas. Sepatu pun ia amat jarang memakai. Selalu saja ia bersandal. Dengan baju lusuh yang tidak pernah dimasukkan celana. Bahkan saya sudah lupa tahun berapa melihatnya bersepatu. Mungkin waktu sama-sama keliling Eropa dulu. Lebih 15 tahun yang lalu.

Mas Parno juga jarang mau pidato. Semua masalah ia selesaikan dengan kerja. Dengan contoh. Dengan hubungan pribadi yang seperti keluarga dengan para direkturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: