Di Indonesia Hanya Koruptor yang Tak Pernah Ditembak Mati, Red Notice Juga Bisa Dicabut
Peristiwa tewasnya enam laskar Front Pembela Islam (FPI), yang ditembak mati personel Polda Metro Jaya masih menjadi perdebatan. Kedua belah pihak saling klaim dan punya kronologi insiden sendiri-sendiri.
Karenanya, kejadian yang membuat miris banyak pihak, Senin (7/12) dinihari WIB, itu mulai memunculkan keinginan publik untuk diusut tuntas. Bahkan pemerintah didesak segera membentuk tim pencari fakta independenden, agar insiden memilukan itu bisa diungkap transparan.
"Tiga hari jelang Hari HAM sedunia, justru enam nyawa melayang tragis. Mau enggak mau tragedi ini harus diusut tuntas secara independen dan akan jadi fokus dunia internasional," ucap Direktur Indonesia Future Studies (INFUS), Gde Siriana Yusuf, Selasa (8/12).
Gde Siriana pun menilai, tindakan kepolisian tersebut justru akan memicu situasi yang lebih rumit. Dia mengandaikan insiden tersebut sebagai mengubah ombak menjadi badai.
"Dikiranya dapat memecah 'gelombang HRS' (breakwater) untuk lindungi daratan. Alih-alih menjadi angin, yang ada malah menaikkan ombak menjadi badai," imbuhnya.
Karena itu, Gde Siriana pun mendesak semua pihak untuk menjelaskan kebenaran dari insiden tersebut kepada publik. Sebab, ini menjadi hak masyarakat untuk mengetahui secara gamblang duduk perkara sebenarnya.
"Masyarakat harus sadar, bahwa enam nyawa melayang ini harus didapatkn kebenarannya. Ini bukan soal Cebong atau Kampret. Kapanpun ini bisa terjadi pada siapapun. Maling ayam ditembak mati saja harus disampaikan kebenarannya. Ini hak civil society," tegas Gde Siriana.
"Hanya koruptor yang tidak pernah dtembak mati, bahkan red notice dicabut," sindirnya. (rmol/zul)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: