Pasal 46 UU Ciptaker Disepakati Didrop, Politisi PKS: Kok Bisa Muncul Lagi Setelah Diparnipurakan?
Pencantuman Pasal 46 UU Migas dalam UU Cipta Kerja (Ciptaker) harus diusut tuntas. Tindakan menambahkan, mengurangi, atau mengubah naskah RUU yang sudah disahkan adalah pelanggaran hukum yang serius.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi PKS, Mulyanto menegaskan hal itu melalui keterangannya di Jakarta, Kamis (29/10). "Yang jadi pertanyaan apakah dimasukannya pasal tersebut dalam naskah 5 Oktober, setelah disahkan di sidang paripurna DPR adalah perbuatan sengaja atau sekadar soal kelalaian?" kata Mulyanto.
"Karena di hari terakhir Panja RUU Ciptaker, sebelum diambil keputusan tingkat satu dalam pleno baleg bersama menteri terkait, pasal tersebut telah disepakati untuk didrop. Namun kenapa pasal tersebut bisa muncul kembali bahkan setelah RUU Ciptaker disahkan di Rapat Paripurna?" sambung Wakil Ketua Fraksi PKS ini.
Mulyanto menilai penambahan Pasal 46 UU Migas ini yang menjadi pangkal utama dari serangkaian masalah revisi naskah RUU Cipta Kerja, yang ditengarai lebih dari 5 kali, hingga berujung pada terbitnya naskah setting akhir dari Setneg.
Pemerintah kembali mendrop pasal tersebut dari naskah RUU Ciptaker setebal 1.187 halaman. "Ini soal penting yang harus dijawab, agar praktik bernegara kita, khususnya pembentukan perundang-undangan dapat terus kita jaga dan pelihara sebagai proses perwujudan kekuasaan legislatif yang 'sakral'," tegasnya.
Menurutnya, ini adalah soal marwah DPR RI. Bahkan kalau ditarik ke atas secara lebih serius, ini adalah soal “kesucian” kehidupan demokrasi. Naskah sepenting itu, sebagai output dari proses formil pembentukan perundangan yang legal, tidak luput dari kelalaian atau kesengajaan.
Dan kemudian muncul drama berupa gonta-ganti naskah secara ugal-ugalan di luar forum resmi persidangan. "Maka apalagi prosesnya sendiri, yang lebih tidak terpantau publik," ucap Mulyanto.
Mulyanto minta pihak terkait menuntaskan masalah ini. Jangan sampai tindakan ilegal ini berulang kembali, karena dapat mencederai nilai-nilai demokrasi.
"Sebelumnya pernah heboh kasus pembentukan perundangan yang populer dengan sebutan “ayat tembakau”, dan mungkin juga ada kasus-kasus lain yang tidak terangkat ke publik," tambahnya.
Atas dasar itu, ke depannya, perlu untuk menuntaskan masalah ini. Kemudian menarik hikmahnya, agar di masa-masa yang akan datang tidak terulang kembali hal-hal yang memalukan seperti ini.
"Marwah DPR adalah marwah demokrasi. Ini wajib kita jaga bersama, agar kehidupan demokrasi politik kita dari hari ke hari semakin baik," tandas Mulyanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: