Prosedur Formil UU Omnibus Law Tak Lazim, Politisi PKS Minta Presiden Terbitkan Perppu

Prosedur Formil UU Omnibus Law Tak Lazim, Politisi PKS Minta Presiden Terbitkan Perppu

Anggota Badan Legilasi DPR RI Mulyanto mengatakan presiden layak menerbitkan Perppu atas UU Cipta Kerja. Alasannya, karena prosedur formil yang tidak lazim, gonta-ganti naskah setelah pengesahan, serta banyak menerima penolakan dari masyarakat.

Mulyanto merinci kronologis pembahasan UU Cipta Kerja yang saat itu masih menjadi Rancangan Undang-Undang. Menurut Mulyanto, dari keterangan resmi yang diterima Fajar Indonesia Network, sejak awal UU yang dikenal dengan nama Omnibus Law Cipta Kerja ini terkesan dipaksakan.

Bahkan di saat masa reses, ketika RUU lain tidak dibahas, UU ini terus dikebut pembahasannya. Sehingga, Mulyanto tidak begitu heran jika belakangan UU Cipta Kerja ini gonta-ganti naskah dan menimbulkan banyak koreksi.

"Karena terburu-buru dan catatan belum terkonsolidasi jadi satu, sehingga saat pleno pengambilan keputusan tingkat I di Baleg 3 Oktober, naskah tidak dibacakan dan penandatanganan naskah hanya bersifat simbolik.

“Saat paripurna 5 Oktober lalu, baru dibagikan file digital 905 hlm. Inipun ditarik kembali, karena ada yang tidak sesuai dengan keputusan Panja," jelas Mulyanto.

Draft terakhir 12 Oktober, dokumen sebanyak 812 halaman yang resmi dan bersifat final diserahkan kepada presiden. Draft ini pun masih ditemukan banyak catatan.

“Berdasarkan recall pada 16 Oktober, Setneg mengajukan revisi perbaikan naskah, untuk 158 item perbaikan dalam dokumen setebal 88 halaman kepada Baleg DPR RI. “Dugaan saya hasilnya adalah setting akhir naskah setebal 1.187 halaman," lanjut Mulyanto.

Mulyanto berpendapat harusnya UU yang sudah disahkan di sidang paripurna tidak boleh diubah-ubah lagi oleh siapapun, baik itu oleh pimpinan Panja, Baleg, Pimpinan DPR apalagi oleh Pemerintah. Jika hal tersebut sampai dilakukan, maka otensitasnya menjadi diragukan.

"Kita tengah meneliti substansi dari perubahan-perubahan draf pasca pengesahan di paripurna DPR tersebut. Apakah hanya bersifat typo, redaksional atau ada yang bersifat substansial. Semestinya tidak boleh ada perubahan lagi pasca pengesahan suatu RUU,” bebernya.

Dalam kasus RUU Ciptaker terjadi perubahan pasca pengesahan, baik yg dilakukan oleh DPR maupun pemerintah. Sebuah proses pembentukan perundang-undangan yang secara formil tidak lazim. Tergesa-gesa dikerjakan di saat pandemi Corona.

Untuk mengakhiri polemik ketidakjelasan UU Cipta Kerja ini, Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini meminta presiden segera menerbitkan Perppu. Mulyanto menganggap sudah banyak bahasan dan kajian yang menyebut UU Omnibus Law ini cacat prosedur.

Jika dipaksakan Mulyanto khawatir akan menimbulkan banyak masalah yang bisa merugikan banyak pihak. "Saya minta presiden mendengar masukan yang disampaikan oleh banyak kalangan. Buktikan kalau negara berpihak pada rakyat bukan hanya kepada kelompok pemodal semata," tandas Mulyanto. (khf/zul/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: