Kejaksaan Korupsi Lagi
Oleh: Kus Rizkianto, SH. MH
Lama setelah kasus Jaksa Urip Tri Gunawan diputus oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan hukuman pidana penjara selama 20 tahun, kisah Jaksa korupsi kelas kakap kemudian menghilang dan tenggelam oleh waktu.
Meskipun ada beberapa Jaksa yang masih terlibat korupsi, sebut saja mantan Jaksa di Kejaksaan Negeri Yogyakarta Eka Safitra yang divonis 4 tahun penjara, denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Yogyakarta pada 22 Mei 2020.
Sampai akhirnya pada bulan Agustus 2020 disaat pemerintah dan masyarakat disibukkan dengan urusan menghadapi Pandemi Covid-19, Publik seakan dikejutkan dengan munculnya sosok Jaksa Pinangki yang kini tersandung kasus hukum karena diduga menerima suap sebesar 500.000 Dollar AS atau sekitar Rp 7 Milyar dari buronan kelas kakap Djoko Tjandra.
Sejarah korupsi pasca reformasi mencatat bahwa korupsi yang dilakukan oleh Jaksa hampir tidak ada yang bernilai kecil sehingga kasus Jaksa Urip dimasa lalu dan kasus Jaksa Pinangki dimasa kini menjadi ikon kasus korupsi kelas kakap yang dilakukan oleh penegak hukum.
Terlebih jaksa dalam sistem peradilan pidana Indonesia merupakan unsur strategis dalam upaya melibas tindak pidana korupsi dan menegakkan hukum tetapi justru menjadi penjahat korupsi itu sendiri. Peristiwa ini tentu sangat mencoreng martabat hukum di hadapan publik, di mana hukum yang sedianya menjadi alat untuk menghapus kejahatan tetapi justru menjadi alat kejahatan oleh aparat.
Pinangki Sirna Milasari merupakan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jasa Agung Muda Pembinaan yang seharusnya berupaya agar kasus-kasus kejahatan kelas kakap yang telah menguras uang rakyat dapat dikerangkeng namun justru sebaliknya bertentangan dengan tugas dan fungsinya.
Lagi-lagi uang membuat seorang Jaksa sekelas Pinangki gelap mata, Pinangki rela mempertaruhkan jabatan dan marwah lembaga Kejaksaan yang mempekerjakannya demi membantu mengurus Fatwa Mahkamah Agung. Fatwa itu menjadi upaya Djoko Tjandra agar tidak dieksekusi dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali sehingga ia dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani vonis dua tahun penjara di kasus itu.
Tindakan menerima suap yang dilakukan oleh Jaksa Pinangki juga mengesankan seolah keberadaan Komisi Kejaksaan ternyata tidak mempan untuk dapat menghindarkan Jaksa dari pelanggaran hukum bahkan melakukan kejahatan.
Korupsi bukanlah sekedar pelanggaran etik dan disiplin melainkan kejahatan luar biasa karena masalah dan kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi memiliki imbas yang besar bagi stabilitas negara dan masyarakat.
Perumusan tindak pidana korupsi secara prinsip sesungguhnya ditujukan untuk menekan penyalahgunaan wewenang dan kebocoran dalam pengelolaan keuangan Negara.
Dalam Gone Theory yang dikemukakan oleh Jack Bologne, bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi: 1). Greeds (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada didalam diri setiap orang, 2) Opportunities (kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa,sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan, 3). Needs (kebutuhan), berkaitan dengan factor-faktor yang dibutuhkan oleh individu untuk menunjang hidupnya yang wajar, dan 4) Exposures (pengungkapan), berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Dalam kasus ini, Pinangki dijerat Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor subsider Pasal 11 UU Tipikor. Pinangki juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan dijerat Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Terakhir, Pinangki didakwa melakukan permufakatan jahat dan dijerat Pasal 15 jo Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor subsider Pasal 15 jo Pasal 13 UU Tipikor. Semoga saja kasus Jaksa Pinangki ini membuat lembaga Kejaksaan merenung untuk dapat kemudian berbenah diri agar tidak terulang kembali dimasa-masa yang akan datang. (**)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: