Polemik Undang-Undang Cipta Kerja

Polemik Undang-Undang Cipta Kerja

Oleh: JakaWaskito/Sendari Waskita Putri *)

Polemik konsep Omnibus Law ramai diperbincangkan oleh seluruh masyarakat semenjak awal tahun 2020. Salah satu bahasan yang sangat disorot oleh publik terkait Omnibus Law tersebut ialah pada Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker), yang baru saja disahkan oleh Pemerintah melalui Rapat Paripurna DPR RI pada Senin (5/10) resmi menjadi undang-undang.

Mulai dari singkatnya waktu pembahasan RUU hingga kontroversialnya isi daripada RUU marupakan a million dollar question yang harus dijawab oleh pemerintah kepada rakyat.

Melihat kondisi pandemi COVID 19 saat ini, alih-alih DPR fokus terhadap penanganan wabah COVID 19, justru fokus untuk ‘kejar target’ mengesahkan RUU Ciptaker. Singkatnya waktu pembahasan membuat masyarakat bertanya-tanya, apa sebenarnya maksud dan tujuan tuan dan puan DPR dalam mengesahkan RUU tersebut?

Dugaan adanya keberpihakan DPR terhadap investor sudah tidak terelakkan di mata masyarakat. Meskipun dalam kacamata DPR UU Ciptaker ini akan membuka peluang lapangan pekerjaan yang luas, namun hak-hak pekerja semakin dikurangi. Setidaknya, menurut Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, terdapat beberapa poin-poin dari RUU Ciptaker yang disorot oleh para tenaga kerja, yakni :

  1. Penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK) bersyarat dan upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK)
  2. Pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan, di mana 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan
  3. Tidak ada batas waktu kontrak atau kontrak seumur hidup bagi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
  4. Karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup
  5. Upah yang didasarkan per satuan waktu.
  6. Penghilangan hak cuti dan hak upah atas cuti.

Tidak hanya merugikan pekerja, UU Ciptaker dinilai seperti “monster alam”. Demi investasi, proteksi lingkungan hidup dipertaruhkan. Contoh peraturan yang mengurangi kelestarian lingkungan hidup diantaranya, izin lingkungan bagi perusahaan dalam UU Ciptaker dihapuskan dan hanya diganti dengan persetujuan lingkungan dari kepala daerah, penilaian dan penyusunan AMDAL dimonopoli oleh pemerintah bukan lagi pihak ketiga yang independen, aktivis/pengamat/ahli lingkungan hidup tidak lagi terlibat dalam penyusunan AMDAL, tidak ada lagi penegasan informasi kelayakan lingkungan hidup yang mudah diakses oleh masyarakat, jenis-jenis sanksi administratif ditiadakan, dan masih banyak lagi.

Sangat baik memang ketika pemerintah pro terhadap investasi, karena investasi memberi banyak manfaat kepada masyarakat, seperti memberi suntikan modal, membuka lapangan pekerjaan, alih fungsi teknologi, meningkatkan pemasukan negara, dan masih banyak lagi.

Namun, investasi tersebut harus dibarengi dengan pelestarian lingkungan yang baik. Kualitas lingkungan hidup yang baik dan sehat harus dijamin oleh negara mengingat hal tersebut merupakan hak konstitusional setiap warga negara.

Program investasi yang tidak memperhatikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup akan mendegradasi kualitas kekayaan sumber daya alam negara.

Banyak dialektika datang dari pihak yang katanya peduli dan mempunyai keberpihakan kepada rakyat, namun RUU Ciptakerja tetap saja ditindaklanjuti sesuai keinginan pihak yang berwenang.

Beragam langkah seperti digelarnya public hearing, rapat pembahasan RUU, dan lain sebagainya, seakan tidak berbekas ketika substansi dari RUU Ciptaker masih banyak menuai protes dari masyarakat.

Pertanyaan yang kemudian muncul tentu saja apa yang salah dengan beragam langkah yang telah dilakukan, dan setumpuk kepedulian berbagai pihak tersebut?

Melihat kondisi pandemi saat ini, pengambilan langkah seperti demo menjadi tidak relevan. Selain membahayakan diri sendiri tentu penyebaran COVID 19 juga membahayakan keluarga di rumah. Aksi mogok nasional juga bukan solusi yang terbaik, mengingat perekonomian yang sedang sulit membutuhkan para pekerja untuk terus bekerja supaya mampu bertahan hidup.

Langkah yang dapat ditempuh, terutama dari kalangan akademisi masih dapat dilakukan untuk merevisi UU Ciptaker ini. Akses uji materil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi terkait substansi dari UU Ciptaker yang dianggap menciderai hak-hak konstitusional warga negara masih terbuka lebar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: